Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Setiap Anak itu Unik

Kompas.com - 05/10/2017, 09:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Kita sering membandingkan anak kita dengan anak lain. Mungkin ini reaksi alami dan spontan, bahwa kita akan bereaksi terhadap perbedaan. Tapi ingat, tak semua yang spontan ini baik untuk dituruti.

Ketika bayi kita berusia beberapa bulan dan belum juga bisa tengkurap, kita mulai khawatir. Saat anak kita berusia sepuluh bulan dan belum bisa berdiri, kita mulai bimbang. Saat ia belum mulai bicara, kita menganggapnya kelainan.

Kenapa? Anak tetangga sudah bisa ini di usia sekian bulan. Kok anak saya belum? Dulu kakaknya sudah bisa jalan di usia 12 bulan, kok adiknya belum?

Kita sering menganggap anak-anak itu sama, padahal tidak. Di usia berapa bulan anak-anak mulai bisa bicara atau berjalan? Variasinya sangat lebar. Ada yang sudah mulai di usia 10 bulan. Anak-anak saya baru bisa menjelang usia 20 bulan.

Ilustrasi bakat anakismagilov Ilustrasi bakat anak
Anak-anak yang cepat bisa bicara dianggap cerdas. Yang lambat, dianggap kurang cerdas. Lalu orang tua kecewa, karena anaknya tak secerdas anak temannya. Atau adik ternyata tak secerdas kakaknya.

Ketika anak-anak masuk sekolah, pembandingan semakin kencang. Anak-anak dinilai dengan angka-angka. Yang dapat angka rendah adalah anak bodoh. Anak berangka tinggi adalah anak-anak super. Kalau anak kita dapat angka rendah, maka kita jejali mereka denga aneka ragam les tambahan. Yang angkanya lebih rendah dari adik atau kakaknya, kita marahi dan kita hukum.

Anak-anak itu unik. Mereka tak sama dengan orang lain di sebelahnya. Tak sama dengan kakak dan adiknya. Bahkan tak selalu sama dengan saudara kembarnya.

Kalau anak kita belum bisa tengkurap sekarang, tunggu saja sebulan dua bulan lagi ia akan tengkurap. Bahkan mungkin ia tak perlu bisa tengkurap dulu, tapi langsung merangkak. Ia belajar sesuatu sesuai dengan pertumbuhan alami dia.

Kalau ia belum bisa jalan di usia 12 bulan, mungkin nanti di usia 14 atau 15. Selama tak tampak kelainan fisik, tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Kalau anak kita tampak lambat belajar di kelas 1, dampingi dengan kasih. Mungkin nanti ia akan mulai ngebut di kelas 2 atau 3. Yang penting kita dampingi, sehingga kita tahu betul apa kesulitan belajar dia.

Bila anak kita tak pandai matematika, kenapa harus dipaksa? Memang tak semua orang pandai matematika. Itu bukan kelainan. Anak kita pasti punya hal lain di mana dia unggul.

Ilustrasi anak-anak belajar di kelasPurestock Ilustrasi anak-anak belajar di kelas
Tiap orang tumbuh dengan proses yang berbeda. Tiap orang punya keunggulan sendiri. Itu termasuk diri kita. Saya cukup cerdas dalam hal verbal dan matematika. Tapi saya mati kutu dalam hal seni. Kenapa orang yang tak pandai matematika dianggap bodoh, sedangkan yang tak pandai main musik tidak dianggap bodoh?

Tugas kita sebagai orang tua bukan menumbuhkan anak yang cerdas matematika atau olah raga, atau seni. Juga bukan menumbuhkan anak-anak dengan kemampuan seragam. Tugas kita adalah membantu anak menemukan potensi itu, dan menumbuhkan potensi itu menjadi kekuatan nyata, yang bisa mereka pakai untuk hidup dengan bahagia.

Peran kita sebagai orang tua bukan mencetak anak sesuai impian kita. Tugas kita adalah mendampingi anak-anak dalam mewujudkan impian mereka. Mereka bukan boneka yang harus memerankan skenario yang kita tulis.

Membandingkan anak-anak dengan teman atau saudara mereka boleh jadi akan menyiksa mereka. Membuat mereka dan kita lalai terhadap potensi diri anak kita. Kita fokus mengejar sesuatu untuk dimiliki anak kita, dengan melupakan dan membuang hal-hal yang sudah mereka miliki. Tanpa sadar kita menyia-nyiakan mereka.

Kenali anak kita, tumbuhkan ia dengan segenap potensi yang ia miliki.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com