Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengapa Orang Tidak (Bisa) Berubah?

Kompas.com - 05/10/2017, 19:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Sudah banyak orang belakangan ini merasakan beban berat saat mengurus keluarga yang sakit. Mulai dari beban ekonomi, hingga beban emosional menanggung penderitaan tersiksanya tubuh.

Negara pun ‘merasakan’ siksaan yang sama, apalagi mengurus lebih dari seperempat milyar jumlah penduduknya.

Oleh karena itu pelbagai upaya diketengahkan, berbagai terobosan dikedepankan. Salah satunya yang paling tidak favorit adalah upaya pencegahan alias preventif, promotif. Mencegah penyakit sebelum datang, mencegah komplikasi di kemudian hari, hingga meningkatkan kualitas hidup manusianya.

Keluhan tenaga kesehatan yang selalu muncul: Mengapa sulit sekali mengubah kebiasaan buruk, mengapa orang susah diajak hidup sehat, mengapa keluar dari zona nyaman untuk sesuatu yang lebih baik malah dianggap merepotkan?

Ada 2 jawaban saya yang selalu terbukti: Pertama, orang yang diajak berubah hanya melihat perubahan tersebut sebagai “keharusan”. Bukan sesuatu yang maha penting buat dia. Masih ada yang lebih penting baginya untuk diprioritaskan.

Kedua, perubahan itu sendiri sebenarnya mempunyai 6 tahapan yang kerap tidak disadari oleh para promotor kesehatan.

[Baca juga: Kebiasaan Salah Menuai Sekian Masalah]

Enam tahapan “orang bisa berubah” sebagaimana pernah diulas oleh Prochaska di tahun 70an membuat kita bisa melihat “seberapa jauh saya sudah melangkah” dan apakah perubahan yang diinginkan itu bisa jadi kenyataan, atau ‘sekadar proses’ (yang tak pernah kesampaian).

Level terendah alias tahap satu adalah saat orang baru terpapar oleh sebuah informasi. Bahasa gaul menyebutnya ‘baru ngeh’, alias menimbulkan awareness.

Tahap terendah ini adalah saat orang melihat poster, membaca berita, atau baru saja mendengar hal baru. Ajakan untuk berubah belum digubris, masih untung tidak ditampik.

Tahap dua, adalah situasi saat orang yang terpapar informasi masih ‘mikir-mikir’. Masih menimbang dan mengolah apa yang telah diketahuinya.

Ini adalah momen manusia menghitung untung ruginya, bahkan mencari tahu antara ‘mudharat dan manfaat’. Ajakan berubah akan sirna bila orang tersebut mendapat informasi lain yang kontra-produktif. Alias hasutan dari sumber lain, yang mengajaknya mengambil pilihan lain.

Di tahap ke tiga, jangan mengira orang mulai berubah. Sama sekali tidak. Ia masih mengambil ‘ancang-ancang’. Ini adalah saat kritis dimana bila terjadi hal yang tidak mengenakkan, ia akan langsung balik badan.

Ibaratnya anak baru mau belajar berenang, baru saja akan memulai latihan meluncur, hidungnya keburu kemasukan air dan gelagapan panik.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com