Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/10/2017, 06:45 WIB
Andi Hartik

Penulis

MALANG, KOMPAS.com - Batik selalu memiliki ciri khas menurut daerah di mana dia dibuat. Namun batik yang dijumpai di Pasuruan ini berbeda dengan batik pada umumnya, karena warnanya yang lembut dan natural.

Ferry Sugeng Santoso (37) pengrajin batik, menyebutkan bahwa batik yang dibuatnya memiliki kenampakan unik karena menggunakan pewarna alam, bukan pewarna sintetis yang kerap dipakai oleh orang kebanyakan. Hasilnya, corak warna pada batik itu lebih teduh.

"Lihat saja warnanya, beda," katanya dalam Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna Expo 2017 di Taman Krida Budaya, Kota Malang, Minggu (15/10/2017).

Pria kelahiran Pasuruan,13 April 1980 itu mulai menekuni batik dengan warna alam sejak tahun 2006. Saat itu, ia mendapat pelatihan dari Kementerian Perindustrian untuk belajar membatik dengan warna alam di Yogyakarta.

"Waktu itu awalnya saya masih pakai warna sintetis. Sejak saat itu mulai menekuni warna alam," jelasnya.

Menurutnya, terdapat banyak bahan alam yang bisa digunakan untuk dijadikan pewarna, terutama bahan dari tumbuh-tumbuhan yang ada sekeliling perkampungan. Seperti kulit kayu matoa, daun matoa serta kulit buah matoa.

Selain itu ia juga biasa menggunakan kulit kayu mahoni, daun mahoni, daun nangka, daun mangga, kulit kayu sono kelling, kulit kayu jaranan dan kesumba keling.

Berbagai jenis tumbuhan itu lalu direbus dengan cara diekstrak untuk diambil warnanya. Dari setiap 5 kilogram bahan, ia bisa menghasilkan 11 liter air pewarna.

"Hanya direbus dengan cara ekstraksi setelah itu dibiarkan satu malam. Keesokan harinya disaring memakai kain. Lalu cairannya sudah siap digunakan untuk pewarnaan kain batik," katanya.

Biasanya, proses pewarnaan mengunakan pewarna alam lebih lama dibandingkan dengan menggunakan pewarna sintetis. Menggunakan pewarna alam harus dicelupkan berulang-ulang. Bahkan, ada yang harus dicelupkan hingga 60 kali supaya warna lebih bterserap.

"Warna alam itu tidak bisa satu kali atau dua kali. Bisa sampai 30 kali, sampai 60 kali pencelupan supaya kadar warna yang masuk ke serat benang itu banyak," jelasnya.

Setelah itu, untuk menjaga warna supaya tidak mudah luntur, harus dilakukan pengikatan warna. Caranya dengan mencelupkan kain itu pada larutan tawas, kapur atau batu tunjung.

Masing-masing cara akan menghasilkan corak warna yang berbeda. Jika dicelupkan pada larutan tawas akan menghasilkan warna muda, jika dicelupkan pada larutan kapur akan menghasilkan warna lebih tua, sementara larutan batu tunjung akan menghasilkan warna gelap.

Dikatakan Ferry, proses membatik dengan warna alam memang lebih lama dibanding dengan memakai warna sintetis. Namun demikian, ia menyebutkan, selain karena ramah lingkungan, pemakaian warna alam juga lebih menarik.

Saat ini sudah lebih dari 500 motif batik yang dibuatnya. Rata-rata, motif batik itu menggambarkan kekayaan alam desa setempat, yakni Desa Gunting, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan sebagai tempat produksinya. Seperti motif matoa, bunga krisan dan bunga teratai.

Batik yang dijual melalui pameran itu dihargai mulai Rp 150 ribu sampai Rp 35 juta per lembar.

Selain batik alam, ada 72 pelaku Usaha Kecil Mikro (UKM) lainnya yang turut dalam Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Expo 2017 di Taman Krida Budaya, Kota Malang itu. Pihak PT HM Sampoerna Tbk berharap, PPK Expo bisa memberikan kesempatan kepada para pelaku UKM binaan untuk meningkatkan produksinya. Sampoerna melakukan pembinaan terhadap para pelaku UKM sebagai wujud dari tanggung jawab sosialnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com