Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengapa Dunia Pengobatan Selalu Menarik?

Kompas.com - 16/10/2017, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Sekali pun katanya sekolah jadi dokter itu makin hari makin sulit - bahkan setelah lulus pun masih (merasa) sulit menempatkan diri – faktanya pilihan profesi satu itu tetap laris manis. Minimal membuat calon mertua bangga. Aneh bukan, di mana magnetnya? Di mana kehebatannya? Ternyata banyak.

Daya tarik awalnya adalah jawaban murni seorang bocah yang baru saja mengumpulkan berbagai kosa kata untuk mengolah kalimat.

Seumur anak taman kanak-kanak, alasan mengapa ingin jadi dokter biasanya polos dan memang itulah tujuan utamanya: “supaya bisa menolong orang sakit”.

Karena ia pernah merasakan tidak nyamannya didera gatal atau demam. Hidung tersumbat sepanjang malam tanpa bisa tidur nyenyak, mendadak sembuh berkat saktinya campur tangan tante atau om dokter.

Begitu sudah mulai besar sedikit, biasanya alasan jadi dokter dimulai dari gengsi dulu. Bisa mengenakan stelan jas putih saja, mahasiswa kedokteran sudah merasa dirinya punya kasta lebih tinggi dari teman-teman seangkatannya dari fakultas lain.

Jas putih itu seakan punya kharisma dan pesona yang tak pernah luntur. Sehingga, profesi lain yang masih berbau kesehatan pun ikut-ikutan mengadopsi seragam yang sama. Jadi, apa yang dipakai sebagai penampilan pun sudah memberi ‘label khusus’. Siapa kamu, siapa saya.

[Baca juga: Kesehatan Salah Kaprah, Adakah Rasa Bersalah?]

Berikutnya, dari jaman sebelum ada sekolah dokter resmi, kebutuhan berobat sudah menjadi bagian dari hidup manusia rupanya, selain kebutuhan makan.

Bahkan sekarang lebih mengerikan lagi: akibat apa yang dimakan, maka bisa diperkirakan kira-kira bakal berobat dengan penyakit apa. Dan sebagian orang nampaknya tidak peduli lagi soal makan dan gaya hidup, selama obatnya tersedia jika sakit.

Sehingga, dunia pengobatan kian berkibar sebagai penyelamat kehidupan – pencipta pil ajaib dan tongkat murajab. Apalagi kian banyak jurusnya. Semakin banyak orang penasaran.

Dari yang ingin berobat hingga yang ingin belajar dengan pelbagai tujuan – termasuk mencari lahan cari uang.

Saat mata ajar etika dan keelokan profesi tidak lagi penting, tujuan utama seperti jawaban anak balita di awal tulisan ini kian kabur.

Nanti dulu. Dunia pengobatan tidak selamanya dipegang oleh dokter, bidan dan perawat. Masih ada lagi yang lain. Yang juga mengklaim berhasil menyembuhkan sekian banyak penyakit, walaupun pengetahuan resmi keilmuannya sebatas keterampilan turun menurun atau kursus yang tidak lebih lama dari kursus montir.

[Baca juga: Pendapat Ahli Berdasarkan Besarnya Pendapatan]

Sementara itu kondisi kehidupan sudah jauh berubah, jenis penyakit dan cara penularannya pun tidak sama seperti pertama kali keturunan mereka mengajarkan ilmu perobatan.

Penelantaran ilmu kesehatan komplementer selama berabad-abad membuat cara berpikir para praktisinya semakin tertinggal.

Belum lagi bicara soal etika. Sementara dapur di rumah terdesak harus tetap ngebul. Hukum ekonomi pun berjalan. Apalagi, jika bukan promosi superlatif jalan keluarnya.

 

Sementara itu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan para dokter dan aparatnya tidak selalu berjalan mulus.

Publik kian kritis. Bahwa ternyata obat satu tas plastik untuk hipertensi, kolesterol tinggi dan pengentalan darah bukan jaminan orang bebas stroke walaupun dokternya wanti-wanti seumur hidup obat tidak boleh lepas. Ternyata suntik insulin saja tidak membuang kemungkinan gagal ginjal.

Di waktu yang berjalan terus semakin cepat, upaya pencegahan alias preventif promotif tidak favorit, karena manusia sudah terlalu enak berbuat apa saja dan tidak ada tanda-tanda keinginan berubah apalagi keluar dari zona nyaman makan seketemunya, hidup semaunya.

Jujur, para dokter juga kalang kabut dengan ketinggalan ilmu perilaku dan komunikasi efektif. Apalagi jika antrean pasien membludak.

Akhirnya, muncul bahasa menakut-nakuti atau istilah ‘vonis dokter’ yang dihubungkan trauma pasien.

[Baca juga: Kebiasaan Salah Menuai Sekian Masalah]

Lebih seru lagi saat media sosial dan penggiat teknologi informasi kerap melemparkan bola panas dan menciptakan opini publik tentang pelayanan kesehatan yang timpang – tanpa diklarifikasi duduk perkara sebenarnya.

Alhasil ketidakpuasan terhadap layanan medik membuat orang melihat ke belakang. Gayung bersambut.

Pendekatan ‘manusiawi’ dan uluran rasa percaya berhasil dibangun oleh ranah komplementer yang sudah punya kekuatan promosi tersendiri – walaupun diberi istilah cara ‘alternatif’.

Menjadi kian menarik karena diam-diam mereka meminjam banyak istilah kedokteran yang diolah dengan bumbu promosi.

Bergulir juga istilah ‘telah diakui melalui penelitian’ sebagai penambah konfirmasi rasa aman pasien. Pasien pun tidak peduli penelitian seperti apa dan validitasnya ada atau tidak.

Saat nyawa menjadi taruhan, dunia pengobatan semakin gemerlap dan menarik. Apalagi jika aturan masih belum jelas.

Amburadulnya etika semakin nampak saat para pengobat non medik kian nekad membuat klaim.

Bahkan, menyelenggarakan ‘seminar kesehatan’ lengkap dengan sertifikat yang entah gunanya buat apa – yang semoga bukan jadi modal kenekadan baru lagi ‘pengobat dadakan’ untuk buka lapak cari uang .

Di saat yang sama, pemerintah tidak mampu ‘multi tasking’. Seperti menambal genting bocor di mana-mana.

Urusan obat ilegal dan napza belum selesai, masih harus menangani hal yang semestinya sudah berjalan sesuai aturan (yang ada, tapi tidak pernah dibaca).

Apa yang kita lihat barulah sebuah puncak gunung es satu masalah dari beragam gunung es masalah lainnya.

[Baca juga: Buas Menumpas: Introspeksi yang Mati]

Wajah kengerian apa yang akan terjadi pada bangsa ini baru akan nampak wujudnya sepuluh-dua puluh tahun mendatang.

Jika kita tidak sama-sama menyadari ada hal-hal yang segera harus dibereskan, maka dunia pengobatan akan selamanya babak belur walaupun tetap seksi.

Begitu seksinya sehingga mudah dilacurkan, menjadi iming-iming orang yang berharap akan kesembuhan atau minimal untuk hidup lebih lama lagi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com