Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/10/2017, 13:27 WIB
Kahfi Dirga Cahya

Penulis

MALANG, KOMPAS.com - Di gang-gang kecil di Kampung Sanan, Malang, tempe dibuat. Memiliki luas sekitar dua hektar—Sanan merupakan tempat bernaung sekaligus produksi para pengrajin tempe, salah satu panganan yang tak pernah absen di warung-warung.

Nama "Sanan" berasal dari kata Sana (pohon Sanakeling). Sekitar tahun 1800-an, desa ini didiami pertama kali oleh buyut Chabibah atau Buyut Kibah. Kebiasaan warga sekitar membuat tempe konon sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu.

“Sekitar tahun 1800-an (dibuka secara luas oleh buyut). Kami ada data bukti yang masih dijaga sampai saat ini—makam dari sesepuh yang membabat alasan Sanan. Kalau untuk tempe sendiri sebelum buyut sudah ada pengrajin tempe,” kata ketua Paguyuban Pengrajin Tempe dan Keripik Tempe Sanan, Ivan Kuncoro, kepada Kompas Lifestyle di kampung Sanan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (14/10/2017).

Sebelum buyut Kibah, kampung Sanan sudah didiami oleh beberapa orang, namun tidak dalam jumlah besar. Penduduk itulah yang kemudian menjadi pengrajin tempe. Keberadaan tempe saat itu juga tak lepas dari kondisi ekonomi di bawah bayang-bayang pemerintahan kolonial Belanda. Tempe dianggap salah satu makanan rakyat.

Secara turun-temurun, teknik produksi tempe terus diturunkan, bahkan terus berkembang hingga kini.

Sentra industri tempe dan keripik tempe Sanan, Malang, Jawa Timur.KOMPAS.com/KAHFI DIRGA CAHYA Sentra industri tempe dan keripik tempe Sanan, Malang, Jawa Timur.
Kedelai lokal

Sejak awal para pengrajin tempe menggunakan bahan baku kedelai lokal asal Pasuruan, Jawa Timur. Namun, seiring waktu kedelai lokal ditinggalkan, tepatnya sekitar 25 tahun lalu.

Ivan bercerita, saat itu dia yang sudah menggeluti pembuatan tempe mengaku kesulitan mendapatkan kedelai lokal. Malahan kedelai yang beredar adalah impor, seperti Amerika Serikat, Argentina, Kanada, hingga China.

Tak lama setelah itu, kedelai lokal benar-benar hilang dari pasaran dan ditinggalkan. Salah satunya karena mencari kedelai lokal semakin sulit dan harganya juga lebih mahal dibanding yang impor.

Pada sisi harga, kesenjangannya juga lebar. Harga kedelai lokal mulai dari Rp 15.000 - Rp 35.000 per kilogram. Sementara kalau kedelai AS Rp 6.300 per kilogram. "Dari sisi keuntungan, tentu pilih asal AS,” katanya.

Dari jumlah, kedelai lokal juga tak cukup memenuhi kebutuhan kedelai harian pengrajin tempe Sanan yang mencapai 30 ton. Kualitasnya juga kalah bersaing. Untuk membuat tempe berkualitas dibutuhkan tempe yang memenuhi syarat tertentu, misalnya kedelai yang lebih kopong yang sudah dipanen sebelum waktunya.

“Penyusutan kedelai lokal pun cukup besar. Bila kita beli kedelai lokal 10 kilogram, bisa susut sampai 50 persen, Sementara kalau kedelai AS susut 10 persen,” katanya.

Ivan menjelaskan, kedelai lokal sebenarnya memiliki keunggulan dalam hal rasa. Tempe yang dibuat dengan kedelai lokal jauh lebih gurih.

Menurutnya, berdasarkan penelitian bibit kedelai asal AS yang pernah ditanam di Indonesia, ternyata memiliki kualitasnya seperti kedelai lokal. Oleh karena itu, dia berharap ada terobosan untuk permasalahn tersebut.

Putaran uang

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com