Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Melulu di Ilmu, Lupa Hakikat dan Akibat

Kompas.com - 10/11/2017, 11:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Kebanyakan saya diundang untuk berceramah, mengajar dan mengupas seputar penyakit, gaya hidup dan pola makan orang.

Begitu gregetnya orang haus akan kebenaran ilmu, rasa ingin tahu dan pastinya: jurus jitu keluar dari masalah kesehatan.

Tak jarang apa yang saya paparkan secara usil dibenturkan dengan perilaku ‘kekinian’ dan konflik kepentingan – yang katanya melumpuhkan industri pangan dan usaha kuliner kecil-kecilan.

Anehnya, di sisi lain, para peserta seminar dan orang-orang yang mengikuti paparan saya juga mengamini, bahwa makin hari dagangan yang disebut makanan itu makin meningkatkan risiko timbulnya penyakit ketimbang sekadar mengenyangkan perut.

Racikan yang semakin jauh dari bentuk aslinya di alam, bahkan tidak pernah terdapat di alam, menjadi bahan dasar pemicu kenikmatan lidah.

[Baca juga : Rahasia Makna di Balik Nama dalam Label Makanan]

Mungkin amat jarang orang Indonesia yang paham misalnya, bahwa keju yang bertaburan di atas pizza atau dijejali sebagai isian roti, bahkan meleleh bagai saus di atas mi dan ayam goreng sebagai kudapan ‘anti mainstream’ ternyata....bukan keju sungguhan. Pantas dijual murah dan rasanya ‘pas’ di lidah Indonesia.

Keju imitasi atau analog diam-diam membanjiri pasar dengan promosi berlebihan di negeri kita. Sementara, di Amerika Serikat pada tahun 1992 ocehan omong kosong produsen keju itu sudah dibungkam oleh Federal Trade Commission.

Berandai-andai keju yang dikonsumsi adalah protein asli kasein susu yang dikultur oleh enzim dan bakteri sehat, membuat begitu banyak konsumen keju di negeri ini termakan pepesan kosong.

Ilustrasi di atas hanya sebagian kecil contoh akibat ilmu pangan hanya diutak-atik sebatas ilmu saja, asyik berkutat di epistemologi.

[Baca juga : Mengapa Orang Tidak (Bisa) Berubah?]

 

Sama seperti untuk diversifikasi pangan katanya, agar cocok dengan lidah zaman sekarang tapi tidak mengkhianati produk sendiri, tempe dipaksakan jadi nugget. Donat terbuat dari singkong. Sisi asal usul, hakikat, ontologi kebaikan tempe dan singkong tidak lagi penting.

Bahwa singkong sehat yang dimakan, cukup setelah dikukus dengan teman makan lauk lainnya, menjadi amburadul bahkan menjadi petaka saat minyak goreng mulai melumuri singkong lumat berbentuk donat yang pastinya diberi gula rafinasi dan campuran lainnya.

Ke depannya, generasi pecinta nugget dan donat pun tetap menuai masalah kegemukan dan sindroma metabolik karena aspek aksiologis, yaitu baik-buruk benar-salahnya suatu temuan, ilmu atau teknologi tidak dipikirkan apalagi dikaji secara bijak.

Seperti lelehan keju imitasi, coklat sarat gula, dan seribu satu panganan yang seratus tahun yang lalu saja tidak ada.

Padahal, sel hingga DNA manusia tidak ada sedikit pun yang berubah dibanding leluhurnya sekian ribu tahun yang lalu.

[Baca juga : Pendapat Ahli Berdasarkan Besarnya Pendapatan]

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com