Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batik, Pelepas Belenggu Pernikahan Anak di Desa Gedangsari...

Kompas.com - 15/12/2017, 13:00 WIB
Kontributor Lampung, Eni Muslihah

Penulis

GEDANGSARI, KOMPAS.com - Pagi itu, hujan rintik membasahi Kampung Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul, Yogyakarta. Tak terkecuali di SMKN 2 Gedang Sari.

Meski cuaca kurang mendukung, sekelompok siswa tetap asyik mengukir motif batik di atas kain polos dengan jemari lentur mereka.

"Biasanya kalau hujan begini tidak ada aktivitas membatik, tapi ada sebagian kelompok yang belum menyelesaikan tugasnya."

Begitu penuturan salah satu guru SMKN 2 Gedangsari Kusnanti yang ditemui pada awal Desember 2017 lalu.

Motif yang terukir pada kain tersebut bertemakan alam. Motif alam dianggap paling menarik untuk diungkap, karena Gedangsari terkenal dengan keelokan alamnya.

Di tempat lainnya, sekelompok murid sibuk memberikan pewarnaan dasar pada kain yang sudah terangkai penuh ukiran tulis batik.

Baca juga : Menengok Perjalanan Batik Danar Hadi di Solo

"Pada pewarna kain menggunakan pewarna alami untuk memperkuat karakteristik batik buatan siswa," ujar Kus lagi.

Sambil menunggu hujan reda, kelompok siswa lain melakukan aktivitas menggambar busana.

Ada pula yang merancang potongan-potongan dasar untuk sebuah baju yang berkelas.

Begitulah aktivitas yang terlihat di sejumlah ruang kelas di SMKN 2 Gedangsari di Desa Tegalrejo.

Aktivitas membatik, merancang busana sampai menjahit di sekolah ini, biasanya berakhir dengan terpajangnya karya itu di galeri "Teaching Factory".

"Teaching Factory" adalah sebuah galeri SMKN 2 yang dikelola secara profesional.  Pengelolanya adalah para siswa yang telah lulus dari pendidikan formal di sekolah tersebut.

"Ibaratnya, mereka dimagangkan selama satu tahun untuk memperkuat keahlian dan pembekalan alumni masuk dunia kerja," kata Kus lagi.

Punya butik kelas "atas"

SMKN 2 Jurusan Tata Busana telah menghasilkan ratusan desain busana untuk wanita, pria, dan anak-anak.

Kini pihak sekolah kebanjiran order baju seragam sekolah maupun kantor.

"Kami menerima konveksi seragam sekolah dan juga perkantoran," kata guru pengajar Tata Busana itu.

Soal kualitas tidak perlu khawatir, kata dia. Siswa SMKN 2 Gedangsari sering mendatangkan desainer ternama di Indonesia.

Baca juga : Rancangan Terbaru Ian Adrian Mengolah Batik Tangsel

Sehingga tak heran, jika karya siswa SMKN 2 Gedangsari sering digunakan model dalam ajang fashion show.

Bahkan, karya anak-anak ini kerap ditampilkan dalam beberapa pameran yang mewakili tingkat kabupaten maupun wilayah yang lebih luas.

Ada kualitas ada harga. Busana yang terpasang di galeri ini tak bisa disebut murah. Karya yang dijual di galeri itu dibanderol mulai harga Rp400 ribu hingga jutaan rupiah.

Kemiskinan dan perkawinan anak

Kepala Sekolah SMKN 2 Gedangsari Daryono menyebut, di daerahnya ada tiga sekolah kejuruan yakni Jurusan Teknik Kendaraan Ringan, Akutansi, dan Tata Busana.

Kehadiran SMK tersebut berangkat dari kehidupan masyarakat setempat yang hidup di bawah garis kemiskinan.

"Gedang Sari masuk daerah termiskin di Yogyakarta," kata dia.

Di daerah tersebut masih kerap ditemukan kejadian pernikahan anak.

"Anak-anak di sini, dahulu sekolah paling tinggi hanya sampai jenjang SMP, dan keluar kampung mencari pekerjaan atau yang remaja perempuannya menikah," kata Daryono.

Permasalahan tersebut menjadi kekhawatiran tetua di sana, dan akhirnya membuat komitmen untuk mengakhiri permasalahan di desanya.

Gedangsari memiliki potensi pengembangan batik. Karena itu, program memantapkan keahlian membatik dan busana menjadi prioritas pembelajaran di sana.

Baca juga : Makna Tersembunyi di Balik Motif Batik Anies dan Jokowi

Belajar membatik digalakkan sejak pendidikan dini sampai tingkat SMA. "Kami mengharapkan generasi Gedangsari bisa berkembang di kampungnya sendiri," tutur dia.

Mulanya, SMKN 2 Tata Busana kurang diminati warga.

Penjelasan kepada siswa dan orangtua, serta tawaran beasiswa sampai lulus, plus fasilitas belajar mirip seperti industri konveksi besar, membuat sekolah itu kian diminati.

Kini, di sekolah tersebut telah menampung sekitar 700 siswa.

Bahkan, keunggulan sekolah tersebut menarik minat siswa dari daerah lain bersekolah di sana.

SMKN 2 Gedangsari kini telah meluluskan delapan angkatan. Angkatan pertama lulus tahun 2010.

Devi salah satu lulusan sekolah tersebut. Dia dan beberapa teman seangkatannya menjalankan program magang setahun di sekolahnya.

Setiap hari, kata Devi, ada saja orderan jahitan yang dibuatnya. Baik orderan seragam atau busana pesta dan lainnya.

Harapannya, setelah selesai magang, penghasilan yang didapat dari orderan konveksi bisa dibelikan mesin jahit.

"Saya mau buka jahitan di rumah dan punya butik sendiri," kata Devi.

Saat ditanya apakah akan langsung menikah setelah selesai magang?

Devi dan temannya tertawa seraya menjawab, "kami mau punya karya terbaik dan hidup sukses dulu."

Konsep pendidikan eskalator

Komitmen warga Gedangsari mendapat sambutan positif dari Yayasan Pendidikan Astra - Michael D Ruslim (YPA-MDR).

Sekretaris Pengurus YPA-MDR Kristanto mengatakan lewat yayasan itu Astra mengembangkan konsep eskalator.

Baca juga : Kisah Lulantatibu, Batik Pemersatu Suku Dayak di Perbatasan

Konsep eskalator mempersiapkan anak didik menjadi pengusaha untuk membangun daerahnya.

"Ini yang disebut pendidikan berdampak pada pemberdayaan masyarakat menuju ekonomi kerakyatan," kata Kris.

Gedangsari menjadi daerah percontohan yang drintis sejak tahun 2008 lalu. Kosep pembinaan yang telah berjalan di sana berjenjang dan berkelanjutan.

Mulai level SD terus ke level SMP lanjut ke SMK dan lulusan SMK disiapkan program Teaching Factory satu tahun untuk menjadi enterpreuner.

Kris menambahkan, karya siswa berupa batik sudah dipasarkan ke Astra Group dan event pameran Inacraft setiap tahun di Jakarta.

Busana buatan Siswa SMKN 2 Gedangsari dan Teaching Factory (Tefa) juga sudah dipasarkan secara langsung maupun online.

"Mereka juga sering memenangkan perlombaan baik tingkat provinsi maupun nasional," tutur Kris.

Dalam penerapan pendidikan eskalator ini, Astra membina enam SD, satu SMP, dan satu SMK di Desa Tegalrejo selama 5-8 tahun.

"Kami melakukan pembinaan sekolah yang terintegari dengan menerapkan pola empat pilar akademis yaitu pilar pertama akademis, kedua karakter, pilar ketiga kecakapan hidup, dan terakhir seni budaya," katanya. 

Selain di Gunungkidul, Astra juga sedang mengembangkan pendidikan eskalator di Pacitan dengan mengembangkan pendidikan jurusan agrobisnis.

Baca juga : Bahasa Simbol Motif Batik

"Daerah yang sedang masuk tahap survei lainnya adalah Lampung. Dan kami berharap metode yang telah dijalani dapat mengurangi persoalan bangsa meskipun hanya sedikit," tutupnya.

Teeett.. teettt.. teettt.. bel berbunyi. Siswa bergegas menyudahi aktivitas belajarnya. Mengemas barang-barang dan bersiap pulang.

Berangsur-angsur siswa pergi dan meninggalkan gedung sekolah.

Daryono Kepala Sekolah SMKN 2 Gedangsari dengan mengendarai sepeda motor juga turut bergegas pulang menuju Yogyakarta, penempuh perjalanan sekitar satu jam.

Di perjalanan, Daryono pasti melintasi sebuah garupa bertuliskan "Rintisan Desa Wisata Budaya". Itu adalah pada pintu masuk Desa Tegalrejo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com