Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengapa Banyak Orang Sangat Suka Bakso?

Kompas.com - 29/12/2017, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

 

Sejujurnya, tidak ada istilah makanan itu enak atau tidak enak. Menjadi enak atau disukai justru karena dibiasakan, diajari pada awalnya.

Anak-anak yang sejak usia tumbuh kembang hanya terpapar dan terkondisikan dengan makanan yang itu-itu saja, dapat dipastikan preferensi atau rentang pilihan makanannya di usia dewasa tidak banyak.

Saya mencermati keluarga-keluarga milenial saat ini atau bahkan satu generasi sebelumnya – di mana peran ibu di rumah jauh lebih sedikit ketimbang kiprahnya di kantor atau sebagai pencari nafkah, entah sebagai orang tua tunggal atau pendamping suaminya.

Menghadapi tantangan ‘besok mau makan apa?’ bagi perempuan masa kini terasa lebih berat ketimbang ‘besok mau mengejar target apa?‘ di kantor.

Cobalah cek ke belakang, dalam seminggu – menu apa yang sama berulang untuk anak? Jika dalam seminggu selalu ada bakso di salah satu atau beberapa hari, maka jangan harap anak mempunyai pilihan lebih sehat ketimbang bakso dan sosis – olahan daging yang sudah mendapat lampu merah dari World Health Organization.

[Baca juga : Anti Tradisi, Kini Harajuku Panganku]

Ketimbang membuat resolusi gila-gilaan di tahun 2018, mengapa tidak mulai membiasakan diri membuat menu seminggu, bahkan sebulan – di mana ayam dan tempe tidak selalu menjadi gorengan, dan bakso serta sosis tidak lagi muncul sebagai menu praktis.

Dari data yang disusun oleh Asia Pacific Food Forward Trends Report II didapatkan angka-angka yang cukup mencengangkan: saat hanya 16% publik Australia merasa tertarik membeli makanan yang diiklankan para selebrita, justru 73% penduduk Tiongkok, 21% penduduk Singapura dan 21% penduduk Korsel memilih produk pangan dan restoran seperti apa kata artis. Sayangnya, data dari Indonesia tidak ada.

Kesadaran untuk memilih pangan sehat secara rasional -bukan akibat gosokan iklan, komit menjalankannya, mulai mengatur preferensi pangan keluarga, rasanya jauh lebih bermanfaat sebagai tujuan hidup sehat, ketimbang diet yang dipelajari secara otodidak di Facebook atau Youtube.

Begitu pula mengatur hidup lebih banyak gerak sehari-hari lebih masuk akal ketimbang ikut maraton musiman dengan risiko bukan hanya cedera, tapi juga serangan jantung akibat tidak tahu diri.

Move on dari menu bakso, bisa jadi juga berlaku di berbagai aspek lain kehidupan manusia. Mengapa masih terpaku pada pola lama dan orang-orang masa lalu? Karena kita belum mengizinkan yang baru dan yang lebih baik sebagai bagian dari pilihan.

Jangan sampai ketidakmampuan move on diam-diam kita juga biasakan pada si kecil, hanya karena variasi pangannya masih itu-itu juga.

[Baca juga : Kesehatan Salah Kaprah, Adakah Rasa Bersalah?]

Halaman Berikutnya
Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com