Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Radikal atau Rasional: Ekstrim atau Lazim?

Kompas.com - 15/01/2018, 07:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Sementara itu Michel Foucault – filsuf Perancis yang hidup sejaman dengan Illich – tapi terlanjur mati muda di usia 50an dalam bukunya yang fenomenal “The Birth of The Clinic” menyoroti bagaimana hubungan dokter dan pasien yang mulai berjarak sehingga pasien hanya sekadar tubuh melalui mana teks (penyakit) bisa dibaca.

Kericuhan berebut lahan menimbulkan mahzab radikal dan ekstrim, melupakan hal yang rasional.

Saat medik konvensional memutuskan pasien hipertensi dan diabetes seumur hidup harus minum obat, maka publik mempertanyakan : Lalu dimana nilai  kesembuhannya?

Di waktu yang sama, organisasi kesehatan dunia menganjurkan perbaikan gaya hidup dan pola makan yang tidak dipandang sebelah mata oleh kelompok radikal konvensional.

Ketika hoax kesehatan banjir meracuni ponsel dan media sosial, ribuan ramuan mendadak muncul yang seakan-akan obat bisa dioplos oleh dapur sendiri, melawan anjuran kemoterapi dan operasi by-pass.

Mobokrasi semakin menuju titik kulminasi. Institusi kesehatan dan otoritas yang berwenang kian kewalahan menanggulangi simpang siur berita, bahkan sabotasenya pun dilakukan oleh kelompok profesional kesehatan konvensional.

Reduksionisme sains kedokteran memancing debat seru di antara pemakai jas putih yang membela aksiomanya sendiri-sendiri. Sementara wabah penyakit kian merenggut nyawa dan kelaziman merawat tubuh untuk hidup sehat semakin tergilas.

Pada zaman yang sama, generasi Z menertawakan orang-orang yang menurut mereka sok sehat dan sok repot masak demi mengisi perut – sementara urusan makan cukup sebatas layar sentuh yang secara ajaib tanpa harus bersusah payah membeli isi perut, layanan siap antar dan siap makan sudah di depan pintu.

Mereka adalah pencipta normalitas baru di luar kelaziman tradisi.

Di tengah mobokrasi yang acakadul ini, lambat laun ada kencenderungan munculnya tokoh-tokoh kharismatik kesehatan yang nampaknya mulai menentukan arus tren menyelamatkan manusia dari kematian dini.

Di negri maju, upaya preventif dan promotif menempati porsi besar teknologi dan industri kesehatan. Penemuan metode diagnostik dan cara-cara pencegahan kanker maupun penyakit katastropik memenuhi laman-laman media informasi. Monarki baru mulai menampakkan tiaranya.

Sementara negara-negara berkembang masih kacau dengan mobokrasi dunia kesehatan dan hedonisme nafsu makan, ogah mendengar ocehan soal preventif promotif. Aroma lepas kendali menikmati gerai-gerai makanan dan apabila sakit ‘toh ada jaminan sosial’ membutakan akal sehat.

Tebak apa yang terjadi? Lingkaran kekuasaan berulang lagi. Komunitas dunia yang masih kacau itu suatu hari akan terima nasib hanya sebagai konsumen metode para pendiri monarki.

Memikirkan ini semua saja membuat bulu kuduk saya berdiri. Kengerian tak terperi terbayang di depan mata. Apakah ‘Kyklos’ akan terus berputar tak terelakan? Apakah sejarah kelam masih akan menghantui anak-cucu kita?

Tidak semua generasi Z masa kini paham sejarah, apalagi filsafat manusia dan semua tingkah polah naluri yang pada prinsipnya sama dari segala zaman.

Semoga akan ada pengingat, yang memutus rantai kebodohan yang tersilap di tengah riuhnya pesta syahwat kekuasaan. Mari kita kembalikan martabat manusia untuk hidup eling lan waspada sebagai makhluk – yang katanya ciptaan tertinggi Sang Gusti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com