Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pentas Wayang Orang Sriwedari, Pernah Hanya "Ditonton Kursi"

Kompas.com - 13/02/2018, 17:45 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Ervan Hardoko

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com -  Bayun Marsiwi, pemuda 25 tahun asal Boyolali ini, mungkin bukan sosok pemuda kebanyakan.

Sebab, alih-alih menonton bioskop atau pergi ke pusat perbelanjaan, Bayun justru asyik menyaksikan pagelaran wayang orang di Kompleks Sriwedari, Surakarta pada Selasa malam pekan lalu.

Bayun, hanya satu dari segelintir orang yang menyaksikan pagelaran ini selain beberapa wisatawan asal Jepang.

Mengapa Bayun, yang tergolong sebagai kids zaman now memilih mengabiskan waktunya menyaksikan budaya tradisional ini?

Baca juga : Wayang Orang Bharata, Obat Kangen dan Tempat Kumpul

"Pertunjukan wayang orang lebih ekspresif dan nyaman, Daripada nonton bioskop mahal, lebih baik wayang orang. Cukup Rp 10.000 sudah bisa dapat kursi VIP," kata Bayun.

Apakah minat pemuda seperti Bayun ini membuktikan bahwa wayang orang masih mendapat tempat di hati warga?

Agus Prasetyo, kordinator pertunjukan wayang orang Sriwedari, menyebut minat warga untuk menyaksikan pagelaran wayang orang semakin meningkat.

Buktinya, Agus melanjutkan, setiap pagelaran jumlah penonton cukup banyak. Dan bahkan pada Sabtu malam penonton biasanya memenuhi gedung berkapasitas 600 orang itu.

"Jika tidak melakukan booking, biasanya kehabisan (kursi)," ujar pria yang juga kerap berperan sebagai Kresna.

Agus melanjutkan, peminat kesenian wayang orang kini semakin meningkat. Bahkan tak sedikit anak muda hingga anak-anak yang meluangkan waktu untuk menonton.

"Turis asing juga ikut antusias. Biasanya mereka malah lebih menghayati saat menonton pertunjukan ini," tambah pria bertubuh tinggi itu.

Namun, kata Agus, cuaca juga berpengaruh terhadap jumlah penonton. Jika hujan lebat mengguyur biasanya tak banyak yang datang ke gedung pertunjukan.

Meski minat warga meningkat, bukan berarti perkembangan wayang orang Sriwedari berjalan tanpa halangan.

Budaya modern yang mulai menyerbu sejak 1980-an, menurut Agus, membuat kesenian wayang orang sempat terpuruk.

"Tahun 50-an sampai akhir 70-an pertunjukan seni tradisional mengalami masa keemasan. Namun karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi pertunjukan tradisonal, sekitar tahun 80-an, pertunjukan seni tradisional mengalami masa surut," kata dia.

Kemunculan stasiun televisi swasta dan menjamurnya kebudayaan pop, tambah Agus, adalah faktor utama yang menggerus eksistensi kebudayaan tradisional.

"Penonton turun drastis sampai awal tahun 2000-an. Kita sering pentas hanya ditonton satu orang saja. Kadang-kadang malah cuma ditonton oleh kursi," tambahnya.

Baca juga : Ketika Kelompok Sosialita Main Wayang Orang

Meski demikian, Agus menegaskan, para pemain wayang orang tetap akan menjalankan tugasnya "manggung" meski tak seorang pun duduk di kursi penonton.

Apalagi, pemerintah kota Surakarta mewajibkan pentas wayang orang harus digelar setiap hari setiap pukul 20.00 WIB, kecuali pada hari Minggu.

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com