Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi

Kompas.com - 24/02/2018, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Merupakan suatu kesempatan yang amat langka, saat saya bisa mendengarkan langsung seminar Ibu Menteri Keuangan tepat di depan mata, sebelum giliran saya menyampaikan materi.

Dengan memahami banyak hal tentang kemajuan fisik bangsa kita, penghargaan saya semakin tinggi terhadap para pemangku amanah yang hari ini mengurus negri tanpa kenal lelah.

Satu sesal saya, tidak banyak orang mempunyai peluang untuk memperoleh pemahaman mendalam mengapa kita masih perlu berhutang, mengapa impor tetap terjadi dan mengapa pasang surut ekonomi terus terjadi.

Pikiran pendek selalu mengandaikan negeri ini berutang, karena pendapatan kurang. Padahal, ada perhitungan lain yang mendasari kepentingan ‘berutang’ itu.

Berutang menjadi salah dan rakyat boleh marah jika utangan itu digunakan untuk konsumsi. Seperti ‘ngutang’ warung sebelah demi perut lapar perlu diisi.

Tapi berutang bisa menjadi cara cerdas untuk investasi, jika digunakan untuk membangun sesuatu yang akan memberi manfaat jauh lebih besar di kemudian hari – bahkan menghasilkan lebih dari jumlah yang terutang.

[Baca juga : Gizi, Vaksinasi, Edukasi: Tiga Pilar Membangun Generasi]

Namun ada satu hal yang amat mengganggu benak saya, terlepas dari gencarnya pembangunan infrastruktur dan menggiatkan orang mendirikan sekolah hingga universitas.

Hal mengganggu itu juga ditampilkan Menteri Keuangan dalam paparannya: Data PISA (Programme for International Students Assessment) yang digagas oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan skor pelajar Indonesia amat rendah, nomor 63 dari 69 negara yang dievaluasi.

Penguasaan sains, membaca dan matematika yang begitu rendah mengandaikan generasi muda kita bisa membaca sesuai apa yang tertulis, tapi tidak memahami apa yang dibacanya.

Dengan kata lain, hasil belajar yang didapatkan di tanah air pantaslah tidak mendapat pengakuan setara di negeri orang.

Jika tes yang melibatkan hal-hal pragmatis empiris saja menghasilkan data seperti itu, lalu bagaimana dengan uji kompetensi yang berkaitan dengan pemahaman lain yang lebih tinggi?

Sedih rasanya jika hanya seorang Sri Mulyani sang menteri ekonomi yang bisa membaca ‘yang tak tersirat’ – berupa analisa keuangan negara sekian puluh tahun ke depan, sementara sembilan puluh persen rakyat lainnya hanya bisa menghitung saldo pemasukan dan pengeluaran saja.

[Baca juga : Papua, Mereka Dimiskinkan di Tanah yang Kaya]

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com