KOMPAS.com - Menulis judul di atas rasanya ada bagian dari hati saya yang teriris. Praktis selama seminggu yang lalu kita banyak bicara soal anak – bukan tentang indahnya masa kanak-kanak – melainkan mirisnya sebagian anak-anak Indonesia yang nasibnya tak beruntung.
Istilah KDRT yang amat nyata: di satu sisi nyawa anak dihabisi oleh orangtua kandung, sehingga umurnya kerdil hanya hitungan hari dan bulan.
Di sisi lain, kekerdilan fisik akibat orangtua kandung yang juga tidak (mau) paham soal kebutuhan tumbuh kembang anak.
Dalam pertemuan tingkat tinggi soal stunting – anak kerdil dengan kecerdasan terganggu – yang digelar di hotel berbintang 5 itu, masih banyak deretan pertanyaan yang tak berjawab.
Sekian ratus kepala desa yang masih takjub mengagumi indahnya hotel di Jakarta dan bingung menikmati makanan penutup gaya bule sarat gula – ada salah satunya yang bertanya kepada saya,”Apakah benar anak kerdil karena kemiskinan?”
[Baca juga : Radikal atau Rasional: Ekstrim atau Lazim? ]
Saya tidak menjawab, tapi kembali bertanya,”Berapa persen rakyat Bapak punya televisi?” Ia ragu menjawab, tapi kisaran lebih dari 70 persen diakuinya.
“Berapa persen rakyat Bapak punya ponsel?” Kali ini ia bahkan tersenyum – karena hampir semua orang diketahuinya punya benda keramat penuh pesona itu.
Lalu saya cukup mengajarkan kepada bapak kepala desa itu untuk meminta rakyatnya membuat dua lajur pengeluaran di atas kertas.
Lajur kiri adalah jenis-jenis pengeluaran yang jika tidak dibeli maka akan mengancam nyawa. Sedangkan, lajur kanan adalah jenis-jenis pembelanjaan yang jika tidak dibeli maka kenikmatan hidup terganggu, tapi tidak sampai mengancam nyawa. Lalu bandingkan jumlah lajur kiri dan kanan.
Saat saya pulang dari pertemuan akbar sepanjang hari itu, otak saya berputar keras sampai pusing.
Ada yang tidak beres dengan ini semua. Banyak orang makan seperti orang miskin di tanah air yang kaya.
[Baca juga : Papua, Mereka Dimiskinkan di Tanah yang Kaya ]
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.