Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kalau Bukan Tubuhnya Kerdil, Umurnya yang Kerdil

Kompas.com - 05/04/2018, 20:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 Ketika anak-anak makan seperti orang miskin pangan

Percuma saja semua calon pemimpin berteriak-teriak tentang janji masa depan masa kekuasaannya, jika yang akan dipimpin nantinya justru orang-orang dengan daya nalar terbatas dan sulit diajak ‘tumbuh’ bersama.

Para cerdik pandai dan petinggi negara ini menyebutkan penyebab langsung anak kerdil adalah faktor asupan gizi.

Sementara penyebab tidak langsung tak kalah banyaknya: mulai dari kebersihan, infeksi, ketersediaan pangan, ekonomi, pendidikan, hingga kesetaraan gender – yang jika dicari-cari maka tidak ada satu aspek pun yang tidak terkait sebagai kontributor anak kerdil dan tidak cerdas.

Yang jika diusut pun, tidak ada satu orang pun yang tidak terlibat. Tidak imbangnya komersialisasi pangan industri berbanding informasi pangan kodrati membuat makin acakadulnya edukasi pemberian makanan bayi dan anak.

[Baca juga : Countercyclical-nya Kesehatan Itu Upaya Promotif dan Preventif ]

Ditilik dari laman organisasi kesehatan dunia, yang menganjurkan begitu banyak hal yang secara teori masuk dalam hafalan orang Indonesia tapi pada faktanya tidak sesuai ilmu hafalan.

Sangat mengenaskan jika para wisatawan maupun tamu pejabat dijamu dengan begitu mewah melimpahnya pangan khas daerah yang bergizi tinggi, tapi di tempat yang sama angka stunting masih mengerikan.

Contoh termudah, Indonesia baru saja mendekati selesainya musim manggis, diganti panen alpukat yang menggiurkan.

Bahkan, salah seorang pasien memberi saya oleh-oleh dari kebun belakang rumahnya sendiri, alpukat sebesar kepala bayi. Ranum, berdaging lembut lebih mewah dari  rasa mentega dan pastinya salah satu sumber nutrisi terbaik di dunia.

Tapi berapa banyak anak-anak ikut menikmati panen manggis dan alpukat? Jangan dibilang mereka ‘tidak doyan’.

Lebih tepat jika dikatakan, mereka tidak mendapat kesempatan menikmatinya. Manggis dan alpukat adalah komoditi, bukan untuk konsumsi.

[Baca juga : Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi ]

Akibat tidak turut menikmati kekayaan ini, anak-anak mudah jatuh sakit – akibat makan seperti orang miskin: biskuit murah, gorengan, mi instan, minuman kemasan sarat gula, dan masih berderet yang disebut ‘pangan’ tapi bukan buatan tangan Tuhan.

Mendidik orang untuk bisa berkaca melihat dirinya sebagai orang kaya memang tidak mudah. Bahkan masih banyak orang kaya merasa dirinya miskin, sampai tega menginjak kaki orang lain yang sungguh-sungguh miskin.

Dibutuhkan bukan hanya kerja keras terus menerus, tapi juga semangat militan yang tak pernah surut sekalipun kena sundut pihak-pihak yang tersudut.

Bonus demografi 2020 tinggal 2 tahun lagi. Tahun emas bagi seorang anak sejak ia belum terlahir hingga usia dua tahun, untuk tumbuh menjadi cikal bakal pembalik angka stunting di Indonesia.

Bukan demi ekonomi negara seperti kata orang-orang cerdik pandai itu, tapi demi martabat manusia dan anak bangsa itu sendiri.

Sebab manusia adalah tujuan bagi dirinya. Bukan untuk kepentingan yang lain.

[Baca juga : Yang Kritis Menjadi Skeptis Berakhir Tragis ]

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com