Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kalau Bukan Tubuhnya Kerdil, Umurnya yang Kerdil

Kompas.com - 05/04/2018, 20:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Menulis judul di atas rasanya ada bagian dari hati saya yang teriris. Praktis selama seminggu yang lalu kita banyak bicara soal anak – bukan tentang indahnya masa kanak-kanak – melainkan mirisnya sebagian anak-anak Indonesia yang nasibnya tak beruntung.

Istilah KDRT yang amat nyata: di satu sisi nyawa anak dihabisi oleh orangtua kandung, sehingga umurnya kerdil hanya hitungan hari dan bulan.

Di sisi lain, kekerdilan fisik akibat orangtua kandung yang juga tidak (mau) paham soal kebutuhan tumbuh kembang anak.

Dalam pertemuan tingkat tinggi soal stunting – anak kerdil dengan kecerdasan terganggu – yang digelar di hotel berbintang 5 itu, masih banyak deretan pertanyaan yang tak berjawab.

Sekian ratus kepala desa yang masih takjub mengagumi indahnya hotel di Jakarta dan bingung menikmati makanan penutup gaya bule sarat gula – ada salah satunya yang bertanya kepada saya,”Apakah benar anak kerdil karena kemiskinan?”

[Baca juga : Radikal atau Rasional: Ekstrim atau Lazim? ]

Saya tidak menjawab, tapi kembali bertanya,”Berapa persen rakyat Bapak punya televisi?” Ia ragu menjawab, tapi kisaran lebih dari 70 persen diakuinya.

“Berapa persen rakyat Bapak punya ponsel?” Kali ini ia bahkan tersenyum – karena hampir semua orang diketahuinya punya benda keramat penuh pesona itu.

Lalu saya cukup mengajarkan kepada bapak kepala desa itu untuk meminta rakyatnya membuat dua lajur pengeluaran di atas kertas.

Lajur kiri adalah jenis-jenis pengeluaran yang jika tidak dibeli maka akan mengancam nyawa. Sedangkan, lajur kanan adalah jenis-jenis pembelanjaan yang jika tidak dibeli maka kenikmatan hidup terganggu, tapi tidak sampai mengancam nyawa. Lalu bandingkan jumlah lajur kiri dan kanan.

Saat saya pulang dari pertemuan akbar sepanjang hari itu, otak saya berputar keras sampai pusing.

Ada yang tidak beres dengan ini semua. Banyak orang makan seperti orang miskin di tanah air yang kaya.

[Baca juga : Papua, Mereka Dimiskinkan di Tanah yang Kaya ]

Demi gengsi, makan pun asal kenyang

Begitu miskinnya konten pangan, hingga makanan instan di negri orang lain yang digunakan sebagai pangan rekreasi sesekali, tapi menjadi pangan rutin bahkan wajib entah untuk sarapan atau ‘pangan praktis gaya kos-kosan’ di negeri ini.

Begitu miskinnya pula konten pangan yang apabila dijumlah besarnya pengeluaran jauh lebih kecil ketimbang pengeluaran lain yang hanya sekadar menampilkan gengsi atau pemuas komunikasi, mulai dari rokok, asesori, hingga pulsa ponsel.

Bahkan dalam demo buruh pabrik, tuntutan kocak yang muncul justru tambahan gaji demi parfum. Bukan perbaikan kualitas pangan. Di negri ini, pangan masih sebatas asal kenyang. Bukan bicara soal kesehatan.

Apakah bisa dibayangkan, betapa nelangsanya anak-anak yang lahir dari orangtua yang belum jelas menata hidupnya? Jangankan bicara pola asuh, mengasuh dirinya sendiri pun para (calon) orangtua ini masih galau.

[Baca juga : Gizi, Vaksinasi, Edukasi: Tiga Pilar Membangun Generasi ]

Sebegitu galaunya hingga melampiaskan rasa marah dan kecewa justru dengan menyiksa bayi yang darah dagingnya sendiri. Begitu ngerinya potret kekerasan terhadap kelompok usia yang masih begitu dini.

Jangankan memberi Air Susu Ibu dengan tekun dan telaten selama 6 bulan penuh, yang dilanjut hingga anaknya berusia 2 tahun – para ‘mahmud’ alias mamah muda ini mengenal istilah telaten, gigih dan tekun saja belum tentu.

Sepanjang usia remaja dan masa mudanya, mereka membombardir kenikmatan hedonisme tubuh tanpa bicara apa yang sebenarnya mereka butuh.

Mulai dari punya uang jajan yang dihabiskan untuk makan (jangan bicara ditabung buat masa depan) hingga punya tubuh molek yang ikhlas dicolek.

[Baca juga : Anti Tradisi, Kini Harajuku Panganku ]

Konsekuensi janin tumbuh dalam tubuh yang tidak siap, menghadirkan bayi yang juga tidak siap menghadapi masa depannya yang jauh lebih menantang ketimbang anak-anak lain.

Saat otak ibunya didera iklan, si bayi terpaksa menelan apapun yang diberikan. Gagal tumbuh membuat orangtua sudah mematikan beberapa cita-citanya. Minimal gagal menjadi perwira, pilot dan pramugari, jika diandaikan masih bisa jadi peragawati di ajang peragaan busana “anti mainstream”.

Jika organisasi kesehatan dunia menggariskan angka 20% sebagai batas bahaya populasi stunting di suatu negara, maka artinya cukuplah tidak lebih 1 anak pendek dari 5 anak dengan umur sebaya.

Tapi Indonesia saat ini terdapat 1 anak pendek dari 3 anak yang kita jumpai setiap harinya. Pendek bukan hanya postur tubuhnya, tapi juga kemampuan berpikirnya.

[Baca juga : Kebiasaan Salah Menuai Sekian Masalah ]

 Ketika anak-anak makan seperti orang miskin pangan

Percuma saja semua calon pemimpin berteriak-teriak tentang janji masa depan masa kekuasaannya, jika yang akan dipimpin nantinya justru orang-orang dengan daya nalar terbatas dan sulit diajak ‘tumbuh’ bersama.

Para cerdik pandai dan petinggi negara ini menyebutkan penyebab langsung anak kerdil adalah faktor asupan gizi.

Sementara penyebab tidak langsung tak kalah banyaknya: mulai dari kebersihan, infeksi, ketersediaan pangan, ekonomi, pendidikan, hingga kesetaraan gender – yang jika dicari-cari maka tidak ada satu aspek pun yang tidak terkait sebagai kontributor anak kerdil dan tidak cerdas.

Yang jika diusut pun, tidak ada satu orang pun yang tidak terlibat. Tidak imbangnya komersialisasi pangan industri berbanding informasi pangan kodrati membuat makin acakadulnya edukasi pemberian makanan bayi dan anak.

[Baca juga : Countercyclical-nya Kesehatan Itu Upaya Promotif dan Preventif ]

Ditilik dari laman organisasi kesehatan dunia, yang menganjurkan begitu banyak hal yang secara teori masuk dalam hafalan orang Indonesia tapi pada faktanya tidak sesuai ilmu hafalan.

Sangat mengenaskan jika para wisatawan maupun tamu pejabat dijamu dengan begitu mewah melimpahnya pangan khas daerah yang bergizi tinggi, tapi di tempat yang sama angka stunting masih mengerikan.

Contoh termudah, Indonesia baru saja mendekati selesainya musim manggis, diganti panen alpukat yang menggiurkan.

Bahkan, salah seorang pasien memberi saya oleh-oleh dari kebun belakang rumahnya sendiri, alpukat sebesar kepala bayi. Ranum, berdaging lembut lebih mewah dari  rasa mentega dan pastinya salah satu sumber nutrisi terbaik di dunia.

Tapi berapa banyak anak-anak ikut menikmati panen manggis dan alpukat? Jangan dibilang mereka ‘tidak doyan’.

Lebih tepat jika dikatakan, mereka tidak mendapat kesempatan menikmatinya. Manggis dan alpukat adalah komoditi, bukan untuk konsumsi.

[Baca juga : Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi ]

Akibat tidak turut menikmati kekayaan ini, anak-anak mudah jatuh sakit – akibat makan seperti orang miskin: biskuit murah, gorengan, mi instan, minuman kemasan sarat gula, dan masih berderet yang disebut ‘pangan’ tapi bukan buatan tangan Tuhan.

Mendidik orang untuk bisa berkaca melihat dirinya sebagai orang kaya memang tidak mudah. Bahkan masih banyak orang kaya merasa dirinya miskin, sampai tega menginjak kaki orang lain yang sungguh-sungguh miskin.

Dibutuhkan bukan hanya kerja keras terus menerus, tapi juga semangat militan yang tak pernah surut sekalipun kena sundut pihak-pihak yang tersudut.

Bonus demografi 2020 tinggal 2 tahun lagi. Tahun emas bagi seorang anak sejak ia belum terlahir hingga usia dua tahun, untuk tumbuh menjadi cikal bakal pembalik angka stunting di Indonesia.

Bukan demi ekonomi negara seperti kata orang-orang cerdik pandai itu, tapi demi martabat manusia dan anak bangsa itu sendiri.

Sebab manusia adalah tujuan bagi dirinya. Bukan untuk kepentingan yang lain.

[Baca juga : Yang Kritis Menjadi Skeptis Berakhir Tragis ]

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com