Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/04/2018, 07:00 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Orang yang menganggap dirinya perfeksionis biasanya keras pada diri mereka sendiri ketika hal-hal tidak berjalan sesuai keinginan mereka. Sifat ini memang diperlukan pada beberapa hal, tapi jika standar kita terlalu tinggi lama kelamaan kita justru jadi depresi.

Menurut Jackie Chan, seorang psikolog dari The Hong Kong Psychological Counselling Centre, perfeksionisme adalah sikap atau keyakinan bahwa tidak boleh ada kekurangan dalam pekerjaan atau kemampuan seseorang.

Biasanya si perfeksionis menetapkan standar yang tinggi - kadang tidak realistis - bagi dirinya sendiri, dan menganggap diri gagal ketika tidak dapat memenuhi standar tersebut.

Seringkali pencarian kesempurnaan dimulai sejak usia muda , terutama ketika mereka memiliki orangtua atau figur otoritas lain seperti guru, yang menetapkan kesempurnaan sebagai standar yang diinginkan.

Kesalahan apa pun yang dibuat biasanya akan berbuah kritik, teriakan, bullying, atau bahkan hukuman fisik. Akibatnya mereka tumbuh dengan hasrat untuk menyenangkan dan menerima pujian dari orang lain. Mereka juga percaya bahwa harga diri mereka terikat dengan prestasi mereka.

Media, masyarakat luas dan keyakinan budaya juga dapat berkontribusi pada keinginan untuk menjadi "sempurna".

Perfeksionisme juga dicirikan oleh evaluasi diri yang terlalu kritis dan khawatir tentang penilaian dan kritik orang lain.

Meskipun tidak ada yang salah dengan mengejar standar yang tinggi, menjadi teliti, atau menginginkan semua hal berjalan dengan cara tertentu, namun sikap ini sebenarnya punya efek negatif.

Efek paling nyata dari sifat tersebut berupa tindakan menyakiti diri sendiri, sindrom kelelahan kronis, gangguan obsesif-kompulsif, insomnia, gangguan stres pasca-trauma, gangguan kecemasan sosial, kecemasan dan depresi.

Riset terbaru dari Australian Catholic University juga menemukan bahwa sifat perfeksionis menyebabkan depresi.

Tentu kita tidak ingin kerja keras kita untuk mencapai level kesempurnaan menjadi bumerang bagi kesehatan mental.

Para ahli menyebutkan, sikap mencintai diri sendiri, atau praktik kebaikan diri, dapat melemahkan hubungan antara perfeksionisme dan depresi.

Dr Madeleine Ferrari, seorang psikolog, mengatakan bahwa orang-orang yang menyalahkan diri sendiri ketika mereka membuat kesalahan atau gagal mencapai standar tinggi dapat disebut "maladaptif perfeksionis". Kondisi tersebut merupakan pemicu kelelahan dan depresi.

Baca :6 Cara Hilangkan Kesepian Saat Depresi Melanda

"Sikap belas kasih dan peduli pada diri dapat membuat orang perfeksionis terhindar dari depresi, baik pada remaja atau orang dewasa," kata Ferrari.

Saat ini, banyak orang dewasa dan remaja berada di bawah tekanan besar untuk memenuhi standar yang sangat tinggi, baik dalam kehidupan pribadi mereka maupun di sekolah dan tempat kerja.

Ketika mereka menjadi terlalu fokus pada kesalahan, frustrasi dan marah pada diri sendiri saat gagal memenuhi harapan yang dibuat sendiri, risiko untuk mengalami depresi sangaltlah besar.

Berdasarkan laporan CNN tahun 2017, World Health Organization (WHO) umumkan jika depresi menjadi penyebab utama masalah kesehatan dan ketidakmampuan di seluruh dunia. Angka penderita depresi ini telah naik lebih dari 18 persen sejak 2005.

Depresi mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir dan berperilaku. Gejalanya antara lain seperti kehilangan minat dalam hobi, perasaan tidak berharga, konsentrasi yang buruk, ketidakmampuan untuk membuat keputusan, hingga gairah seks rendah.

Baca :Apakah Kamu Depresi? Perhatikan 5 Tanda Tak Terduga Ini

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com