KOMPAS.com - Sudah beberapa hari dalam minggu ini saya menemukan banyak kejanggalan soal pangan bangsa kita.
Ternyata pilihan pangan lebih banyak dianut orang, bukan karena paham tentang kebutuhan tubuh, tapi karena ‘kepercayaan’.
Cukup banyak deretan pangan yang dipercayai sehat tepatnya. Dari mana kepercayaan itu berasal? Tidak perlu jauh-jauh: iklan.
Di masa sekarang, iklan tidak perlu ditampilkan secara kasar seperti ‘orang jual kecap’ – begitu istilah promosi di zaman ayah saya. Karena zaman itu bisa jadi satu-satunya bahan pangan buatan pabrik barulah kecap saja.
Mengunggah foto cantik di media sosial sambil menyesap botol bermerek sudah bisa mendatangkan uang banyak sekaligus pengikut fanatik.
Selama punya otot bagus atau tubuh molek, si artis tahu-tahu disebut punya diet sehat. Dalam sekejap makanan yang sama ditiru ribuan orang yang bermimpi punya tubuh sebagus artis.
[Baca juga : Kesehatan, Lahan Rentan Bisikan]
Saya tak pernah berhenti mengagumi orang-orang yang sengaja direkrut dengan bayaran mahal oleh industri pangan.
Mereka adalah para pakar sesungguhnya yang tak pernah tampil di muka umum, namun mengembangkan cetak biru pemasaran suatu produk yang tadinya tidak ada, tapi bisa berubah 180 derajat menjadi kecanduan publik.
Ahli gizi yang dipekerjakan untuk berkoar-koar di corong promosi dengan pembenaran ilmiah bukan tandingannya.
Survey diam-diam semakin memoles produk sesuai apa yang disukai lidah mayoritas – membuat pangan ajaib itu kian lekat di hati rakyat.
Kini, 80 persen lebih pengisi mini market dan swalayan yang disebut ‘makanan’ justru produk yang semakin jauh dari bentuk aslinya di alam.
[Baca juga : Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi]
Dipopulerkan oleh berbagai wajah cantik dan ganteng, bahkan anak-anak balita yang sengaja dipilih.
Seakan-akan, semua anak bisa seperti itu jika mengonsumsi benda yang sedang ditayangkan.
Pakar dibayar untuk pembenaran secara ilmiah, yang mencatut berbagai studi tentang si produk yang diproyeksikan sebagai bentuk aslinya di alam.
Padahal, yang ada di pasar adalah hasil reka rasa dan reka rupa dengan penambahan polesan sesuai selera pasar.
Sementara itu selama 30 tahun lebih, terjadi pembiaran atas perlindungan konsumen dari keliaran iklan dan azas ‘suka-suka pasang label’.
[Baca juga : Rahasia Makna di Balik Nama dalam Label Makanan]
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.