Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengapa Harus Mengandalkan Makanan Kemasan di Negeri yang Kaya?

Kompas.com - 01/05/2018, 09:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 Ketika memasak tak lagi jadi kewajiban rutin

Pergeseran asupan pangan tak ayal menimbulkan masalah baru. Bukan hanya dampak menahun dari apa yang dimakan, tapi lebih parah lagi: dampak paradigma baru tentang persepsi pangan.

Sangat mengejutkan sekaligus ngeri, jika mendengar ada generasi milenial yang menyatakan puding buah sama manfaatnya seperti makan buah – atau balita juga perlu diajar sarapan pagi buah saja, agar vitamin dan mineral lebih sempurna diserap tubuh.

Tidak jarang, saya berhadapan dengan pasien frustrasi yang tidak terpikir ayam dan tempe mau dimasak apa selain digoreng.

Memasak, belakangan ini dianggap ‘profesi keterampilan’ yang tidak semua orang bisa melakukannya.

Bukan lagi kewajiban rutin sehari-hari untuk mempertahankan hidup sehat, seperti mandi misalnya.

[Baca juga : Kebiasaan Salah Menuai Sekian Masalah]

Untuk mengolah pangan, dengan mudahnya kita limpahkan pada orang lain – bahkan industri.

Cukup banyak perempuan lebih cekatan berdandan dan menghabiskan waktu lebih banyak di depan cermin ketimbang di dapur.

Anak-anak cukup diberi uang jajan, makan malam pun praktis dengan membeli di jalan sambil pulang dari kantor. Begitu pula dengan sarapan.

Beberapa kawan saya yang asli bermata biru, berambut pirang, menyatakan keherananannya melihat Indonesia mempunyai begitu banyaknya jajanan, makanan, dan minuman kemasan hingga beraneka jenis roti aneh-aneh yang di negaranya saja tidak ada.

Mereka bertanya, apakah kita tidak pusing memilih apa yang mau dimakan, sementara alam negri kita saja sudah memberi begitu banyak, mulai dari hasil bumi hingga lautnya yang kaya. Deg! Dari situ saya terhenyak.

[Baca juga : Mengapa Banyak Orang Sangat Suka Bakso?]

Sangat mustahil, negeri sekaya ini didera penyakit, apalagi anak-anak kerdil dengan kecerdasan minim.

Jangan dibilang rakyat kita tidak makan. Kita tiap hari makan. Bahkan banyak. Tapi, apa yang dimakan?

Berapa persen makanan kita yang sungguh-sungguh berasal dari alam negeri ini? Dalam rupa aslinya tentu. Bukan mi hijau. Bukan roti isi ‘ayam’.

Slogan anjuran pangan yang mempertahankan kesehatan dikayuh seperti sepeda ontel ketinggalan jauh, dibanding mesin Ferari iklan pangan yang sudah terlanjur membentuk ‘kepercayaan’ publik.

Sama-sama protein misalnya, jika ada ibu yang diminta memberi prioritas mana yang menjadi pilihan untuk anaknya di antara deretan ayam, telur, susu, ikan dan daging –bisa jadi susu menempati peringkat teratas. Mengapa? Tanya pakar teori pembelajaran sosial.

[Baca juga : Kalau Bukan Tubuhnya Kerdil, Umurnya yang Kerdil]

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com