Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr.Retha Arjadi, M.Psi
Psikolog

Retha Arjadi adalah psikolog klinis yang aktif berpraktik di Kalea dan International Wellbeing Center. Dalam praktiknya, ia berfokus pada penanganan berbagai masalah psikologis yang dialami oleh klien berusia dewasa. Selain berpraktik, ia juga mengajar sebagai dosen honorer di Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Teror: Tidak Boleh Takut?

Kompas.com - 16/05/2018, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Retha Arjadi, M.Psi., Psikolog

Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu berhadapan dengan berbagai ancaman yang dapat membuat kita merasa takut dalam level yang bervariasi. Misalnya saja, ancaman ketidaknyamanan dan penyakit yang datang dari kondisi cuaca yang tidak menentu, ancaman bencana alam, dan lain sebagainya.

Dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman dalam hidup, wajar jika kita merasa takut. Perasaan takut itu sendiri merupakan reaksi otomatis yang muncul saat kita merasa terancam, sehingga kemunculannya tidak bisa dihindari.

Dari berbagai jenis ancaman dalam hidup yang dapat menghasilkan perasaan takut, ancaman dalam bentuk teror adalah sesuatu yang dapat memunculkan perasaan takut yang jauh melebihi ketakutan kita atas banyak hal lain.

Karena ancaman teror biasanya bersifat luas, mengancam nyawa, dan memang oleh pelaku teror dimaksudkan untuk menghasilkan ketakutan yang besar, bukan hanya di level individual, tetapi di masyarakat.  

Menanggapi teror yang terjadi belakangan, masyarakat mengeluarkan reaksi yang sangat beragam. Ada yang dengan segera menyebarkan berita atau foto-foto tempat kejadian dan korban disertai dengan pesan yang menggambarkan ketakutan, atau menyebarkan kabar-kabar menakutkan dari sumber tidak jelas yang ternyata hoax, karena takut isinya ternyata benar (siapa tahu benar).

Petugas kepolisian saat mengevakuasi jenasah di depan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Jalan Arjuna, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). Hingga pukul 12.30 WIB, jumlah korban ledakan di 3 gereja mencapai 10 korban meninggal dan 41 luka-luka.KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG Petugas kepolisian saat mengevakuasi jenasah di depan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Jalan Arjuna, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). Hingga pukul 12.30 WIB, jumlah korban ledakan di 3 gereja mencapai 10 korban meninggal dan 41 luka-luka.
Padahal efek penyebaran hoax juga dapat menambah ketakutan yang tidak semestinya ada di masyarakat.

Mengingat perasaan takut muncul secara otomatis sebagai reaksi terhadap ancaman, maka dapat dipahami mengapa reaksi semacam ini banyak terjadi.

Di sinilah pengelolaan rasa takut itu menjadi penting. Membagikan foto-foto korban teror atau menyebarkan hoax bukanlah hal yang baik untuk dilakukan karena dapat menyebarkan lebih banyak ketakutan di masyarakat, artinya secara tidak langsung ‘membantu’ pelaku teror mencapai tujuannya menyebarkan ketakutan secara massal.

Ini bukan berarti kita tidak boleh merasa takut, namun tidak menunjukkan ketakutan secara luas, termasuk di media sosial, adalah pilihan yang paling bijak untuk dilakukan untuk mencegah ketakutan berkembang semakin luas.

Jika bermaksud meningkatkan kewaspadaan, kita dapat menyebarkan berita dari sumber kredibel yang menyajikan informasi secara objektif tanpa intensi menyebarkan ketakutan.

Itulah juga sebabnya, sumber berita yang kredibel biasanya tidak menyertakan foto-foto yang dapat memprovokasi perasaan takut sebagai bagian dari muatan beritanya, tetapi fokus hanya menyampaikan informasi secara objektif disertai dengan imbauan untuk meningkatkan kewaspadaan.

Penting untuk dipahami bahwa perasaan takut yang muncul dalam kondisi terancam, termasuk ancaman teror, pada dasarnya adalah reaksi yang sehat karena akan membuat kita menjadi lebih waspada dan hati-hati dalam bertindak.

Hanya saja, perasaan takut ini dapat berkembang ke arah yang tidak sehat jika menjadi terlalu menguasai diri kita secara berlebihan.

Memahami seluk beluk perasaan takut akan membuat kita paham bahwa kemunculan perasaan takut yang kita alami dalam kondisi terancam bukanlah untuk disangkal, tetapi justru perlu kita kelola agar tetap dapat membantu kita lebih waspada, bukan sebaliknya membuat kita melakukan hal-hal yang tanpa kita sadari dapat menambah intensitas ketakutan itu sendiri.

    


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com