Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Suplemen: Kepercayaan atau Kebutuhan?

Kompas.com - 05/06/2018, 07:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Beberapa hari yang lalu di media online maupun cetak muncul pemberitaan yang cukup ‘mengguncang’ area promotif dan preventif kesehatan: suplemen tidak bermanfaat terhadap penyakit jantung.

Alasannya, terlalu banyak penelitian (studi) yang saling bertolak belakang. Ada yang menyatakan tidak ditemukan kontribusi yang signifikan, ada yang menyatakan justru memberi nilai proteksi dan perbaikan kualitas pembuluh darah termasuk jantung.

Seperti biasa, awam yang paling menderita kebingungan.

Saya pun cukup jengkel, menyadari begitu terbatasnya pengetahuan dokter pada umumnya tentang nutrisi dan functional food, apalagi suplementasi.

Baca juga: Kesehatan, Lahan Rentan Bisikan

Vitamin C misalnya, terbatas dipahami sebagai ‘pendongkrak daya tahan tubuh’. Bahkan, suntikannya dikenal serendah pengetahuan salon: untuk pemutih dan pencerah kulit – yang sama sekali jauh dari bukti ilmiah.

Tidak banyak yang menyadari, bahwa sebagai makhluk yang tergantung dengan asupan vitamin C, manusia membutuhkannya untuk pembuatan kolagen.

Kolagen bukan untuk kelenturan kulit semata, tapi justru untuk dinding dalam pembuluh darah, agar terhindar dari pengerasan akibat faktor degeneratif.

Studi atau penelitian, bukan tanpa cela atau masalah. Cukup banyak penelitian gegabah – terutama yang disponsori kepentingan tertentu – tidak mempunyai derajat pembuktian – atau degree of evidence yang cukup tinggi.

Studi kasus misalnya, bernilai jauh lebih rendah dari meta analisis, atau randomised controlled trial. Begitu pula pemilihan subjek penelitian kerap menjadi batu sandungan.

Baca juga: Radikal atau Rasional: Ekstrim atau Lazim?

Orang-orang yang secara acak terpilih mengikuti suatu penelitian, belum tentu mempunyai latar belakang yang seragam: mulai dari tingkat edukasi, finansial hingga pola makan.

Studi acak yang mengikut sertakan publik dengan pola makan amburadul, tentu saja tidak akan memberi hasil signifikan pada penggunaan vitamin atau suplemen apapun.

Karena prinsip suplementasi hanyalah ‘membantu’, ‘menambah’ yang kurang – bukan menambal kerusakan, apalagi dijadikan pengganti obat.

Orang akan tetap terkena stroke atau serangan jantung, sekalipun mengasup sekantong vitamin dan suplemen mahal, jika pola makannya bermasalah, jika tekanan hidupnya tidak diselesaikan, apalagi irama hidupnya acak adul.

Ibaratnya, suatu perilaku baik tidak akan membuat seseorang otomatis disebut baik, jika ada perilaku menyimpang yang bersamaan terjadi dalam hidupnya.

Baca juga: Mengapa Orang Tidak (Bisa) Berubah?

Indikasi vitamin dan suplemen memang tidak bisa dijadikan materi edukasi publik. Itu sebabnya, mengapa dokter tetap menyarankan berbagai makanan alamiah yang sehat seimbang yang merupakan sumber vitamin, mineral, dan antioksidan terbaik.

Bahwa ada kondisi-kondisi kesehatan tertentu yang perlu mendapat percepatan penyembuhan, maka dokter yang mempunyai kompetensi terkaitlah yang akan meresepkan suplemen sesuai dengan kebutuhan personal pasiennya.

Pada kasus anemia misalnya, kerap yang dijadikan tertuduh adalah zat besi. Hampir semua kasus anemia ‘dihajar’ dengan suplementasi zat besi.

Padahal, ada tipe anemia yang disebut ‘non-iron deficiency anemia’ – yang bisa dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium lebih detil dan komprehensif.

Hemoglobin sebagai pengangkut oksigen dalam sel darah merah, dibentuk selain oleh gugus heme-atau senyawa zat besi, juga oleh globin, yaitu protein.

Pada mereka dengan asupan protein yang buruk, atau penyakit kronik misalnya, anemia kerap terjadi walaupun persediaan zat besi dalam tubuh justru tinggi, karena yang rendah adalah total iron binding capacity – atau kapasitas total kemampuan mengikat zat besi-nya.

Baca juga: Kebiasaan Salah Menuai Sekian Masalah

Jadi, pada penderita seperti ini jika ‘dihajar’ oleh suplementasi zat besi, yang terjadi justru masalah baru: siderosis – yaitu deposit zat besi di berbagai organ dan jaringan tubuh, termasuk mata dan otak.

Begitu pula ‘kerajinan membaca kisah-kisah kesehatan’, tanpa berkonsultasi dengan pakar yang kompeten, kerap membuat awam terjebak dalam situasi ‘mengobati diri sendiri’.

Yang paling aktual terjadi belakangan ini adalah penyalahgunaan vitamin D. Vitamin D dikenal sebagai ‘the sunshine vitamin’.

Jadi alangkah ironisnya, bila di negeri yang kaya matahari, sehingga solar power di atas genting rumah bisa menjadi sumber tenaga listrik - tapi penduduknya harus mengasup kapsul vitamin D.

Sebagai vitamin larut dalam lemak, kelebihan vitamin D bukan tanpa bahaya. Nyeri tulang, kehilangan massa otot, hingga risiko batu ginjal bukan kabar baik tentunya.

Baca juga: Mengapa Harus Mengandalkan Makanan Kemasan di Negeri yang Kaya?

 Suplementasi kalsium pun bukan tanpa risiko. Dalam penelitian acak dari 1471 perempuan pasca menopause yang diselenggarakan di New Zealand, 21 dari 732 perempuan yang mendapat suplementasi kalsium 1000 mg per hari mengalami serangan jantung, dibandingkan 10 dari 736 orang yang menerima placebo (subjek penelitian mendapat tablet kosong tanpa kalsium).

Begitu pula di tahun 2010, analisa terhadap 15 percobaan acak terkontrol, ditemukan adanya hubungan antara risiko serangan jantung dengan suplementasi kalsium.

Hal ini dimungkinkan, akibat peningkatan kadar kalsium dalam darah yang mengendap pada dinding pembuluh darah, dan selanjutnya terjadi pengerasan hingga meningkatkan tekanan darah, sebagaimana telah dipublikasikan oleh Harvard, institusi kesehatan terkemuka dan bergengsi di Amerika Serikat.

Kalsium tidak berdiri sendiri untuk membuat tulang menjadi kuat. Interaksi sempurna dan imbang antara vitamin D dari matahari, kecukupan magnesium dari keragaman pangan harian, juga fosfor dan seng dapat diibaratkan seperti beton yang kuat.

Intinya, tidak cukup hanya dengan mengandalkan merek semen.

Baca juga: Mengapa Dunia Pengobatan Selalu Menarik?

Campuran perbandingan yang pas antara semen, pasir, dan air baru akan membuat ‘adonan beton’ siap untuk pengecoran yang juga butuh waktu dan matahari, agar mengeras sempurna.

Awam tidak memahami interaksi kerja mineral, vitamin dan suplemen dalam tubuh. Jadi, amat berbahaya jika mengonsumsi ‘multivitamin’ sekali tenggak, dengan harapan semua kebutuhan mikronutrien terpenuhi.

Lebih berbahaya lagi, jika penjualan dalam rupa makanan dan minuman kemasan yang menjanjikan kecukupan gizi, hingga sedetil-detilnya dipromosikan oleh orang-orang yang dianggap akademisi dan ‘ahli’.

Bangsa kita masih jauh ketinggalan soal melek gizi atau nutrisi.

“Panduan” pangan lebih banyak didengar melalui corong iklan dan meniru para selebritis yang diam-diam dibayar alias di-endorse.

Padahal semua kekayaan bangsa ini, bahkan mataharinya yang gratis – mampu menghidupi seluruh rakyatnya dengan jaminan kesehatan masa depan.

Semoga yang kita punya ini tidak pindah ke tangan orang asing, minimal mataharinya.

Baca juga: Pendapat Ahli Berdasarkan Besarnya Pendapatan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com