Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Punya Anak

Kompas.com - 08/06/2018, 21:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

Seorang teman saya yang sudah belasan tahun menikah belum punya anak. Ia memang punya beberapa masalah kesehatan sehingga sulit untuk bisa hamil. Ia mencoba berobat ke dokter ahli, menjalani terapi, namun sejauh ini hasilnya nihil.

Mengapa kita ingin punya anak? Secara alami punya anak itu membahagiakan. Bisa dikatakan ini bagian dari naluri manusia. Manusia senang berhubungan seks, yang pada umumnya menjadi sarana reproduksi. Lalu manusia juga senang punya anak. Naluri ini memastikan manusia punya keturunan.

Tapi alam juga menghadirkan anomali. Ada orang-orang yang justru tidak ingin punya anak. Celakanya, ia justru mendapat anak. Kita sering menyaksikan orang menolak bayi yang terlanjur dikandungnya, sampai tega membunuhnya.

Jadi, apakah punya anak itu membuat bahagia? Ya, umumnya begitu. Tapi ingat, kebahagiaan sendiri punya hukum dasar. Hukum dasarnya adalah, bukan suatu benda, atau suatu kejadian yang membuatmu bahagia atau tidak bahagia, melainkan bagaimana kau bersikap terhadap benda atau kejadian itu.

Orang umumnya bahagia punya anak. Kalau melihat bayi kita merasa nyaman, ada dorongan untuk menyentuh dan memeluknya. Kita kemudian merasa bahagia.

Tapi ada situasi tertentu yang membuat orang tidak bahagia kalau dia punya anak. Namun sekali lagi, itu pun tetap kembali pada bagaimana ia bersikap. Ada orang yang harus menghadapi masalah yang sulit karena ia punya anak, tapi itu tak membuat ia membenci anaknya.

Punya anak membuat bahagia. Tidak punya anak, membuat orang tidak bahagia. Tapi bisa juga punya anak membuat tidak bahagia. Ingat kembali hukum dasar kebahagiaan tadi.

Ada banyak hal yang bisa memicu kebahagiaan. Maka orang mengejarnya. Namun ada begitu banyak orang yang sibuk mengejar pemicu itu, sampai lupa pada hal yang hakiki dan jauh lebih sederhana, bahwa kebahagiaan itu sumbernya ada dalam diri kita, dalam pikiran kita.

Agak melenceng sedikit, mari kita lihat pemicu kebahagiaan yang ekstrem: narkotika. Mengapa banyak orang menjadi pecandu narkotika? Karena narkotika itu membuat bahagia. Narkotika adalah contoh ekstrim tentang bagaimana mekanisme kebahagiaan itu bekerja.

Orang merasa bahagia kalau ada hormon tertentu mengalir dalam darahnya, misalnya endorpin, oxytosin, serotonin. Hormon itu dihasilkan dari aktivitas tertentu. Oxytosin, misalnya, adalah hormon yang dihasilkan saat manusia mengalami sesuatu yang intim, bersentuhan, atau berhubungan seks.

Jadi, sebenarnya bukan hubungan seks yang membuat orang bahagia, melainkan apakah hubungan seks itu menghasilkan oxytosin atau tidak.

Perkosaan adalah hubungan seks, tapi itu tidak membahagiakan. Demikian pula hubungan seks komersial, tidak menimbulkan kebahagiaan di pihak penjualnya. Dalam hal ini pemicu kebahagiaan penjual bukan hubungan seks, tapi imbalan uang yang ia peroleh.

Dengan cara ekstrim tadi, kebahagiaan bisa diperoleh tanpa melalui mekanisme konvensional tadi. Kita bisa melakukan by pass, dengan injeksi kimia, yaitu narkotika.

Narkotika seperti kokain dan amphetamine bisa memicu dopamine, yang nantinya akan memicu oxytosin. Dengan narkotika orang bisa mendapat kenikmatan seperti senggama, bahkan bisa jauh lebih nikmat, karena kadar oxytosin yang dihasilkan jauh lebih banyak.

Tentu saja saya tidak sedang menganjurkan orang untuk memakai narkotika. Pemahaman tentang cara kerja narkotika akan memberikan kita pemahaman tentang mekanisme kebahagiaan.

Sederhananya, semua ada di otakmu. Pengendali kebahagiaanmu adalah pikiranmu. Maka, kendalikan pikiranmu, arahkan pada cara berpikir yang membuatmu bahagia.

Dalam hal punya anak, kita sama-sama tahu bahwa punya anak itu membuat bahagia. Maka berusahalah untuk punya anak. Menikahlah, dan bercintalah, kau akan punya anak. Kalau belum dapat juga, berusahalah.

Usaha untuk punya anak itu adalah usaha yang logis. Sama seperti soal kebahagiaan tadi, mekanismenya sudah kita ketahui. Sel sperma bertemu sel telur, terjadi pembuahan. Lalu telur yang sudah dibuahi itu ditempatkan dalam rahim.

Orang yang tidak hamil sebabnya antara lain adalah:
1. Sel telurnya tidak ada.
2. Sperma tidak bisa mencapai sel telur.
3. Rahim tidak bisa menjadi “rumah yang ramah” bagi telur yang sudah dibuahi.

Ada banyak hal detil tentang ketiga hal itu. Bahkan ketiganya bisa hadir secara bersamaan secara rumit. Tapi serumit apapun, masalah hanya bisa diselesaikan kalau kita tahu sebab utamanya, dan kita mengambil tindakan untuk mengatasinya. Kalau tindakan cocok, maka masalah bisa diselesaikan.

Sering saya temukan orang tidak punya anak, bingung sendiri tanpa tahu duduk persoalan yang dia hadapi. Ia kemudian mengalami tekanan sosial berupa tuntutan dari keluarga. Itu membuat masalahnya jadi lebih parah, ia jadi makin sulit punya anak.

Jadi, urai masalahmu, di mana letaknya.

Langkah yang tidak kalah penting adalah, terima kenyataan. Kalau kamu kebetulan punya kelainan yang menyebabkan sulit hamil atau sulit membuahi, terima kenyataan itu tanpa meratapinya. Setiap orang punya kelainan, kok.

Kamu punya kelainan di rahim, saya punya kelainan di lambung. Kelainan di rahim tidak lebih istimewa daripada kelainan di lambung. Jadi tidak perlu mengeluh. Fokuslah pada usaha untuk menanganinya.

Bila kelainanmu ternyata parah, terima pula kenyataan itu. Artinya, kamu harus menempuh jalan yang lebih sulit lagi. Kamu harus lebih bersabar lagi.

Kalau akhirnya kelainan itu ternyata memang tidak bisa diatasi, bagaimana? Apa boleh buat. Sadarilah bahwa kita memang tidak punya kuasa atas mekanisme alam. Gunung meletus tanpa bisa kita cegah. Sama halnya, kita tidak bisa mengontrol setiap organ tubuh kita.

Terima kenyataan itu, dan carilah sumber kebahagiaan lain. Kamu bisa menemukan cinta yang membahagiakan dengan mengangkat anak. Atau dengan ikut menyayangi anak-anak orang lain.

Ada banyak orang yang bisa berbahagia dengan anak-anak orang lain, melebihi kebahagiaan orang yang punya anak kandung.

Ingat, bukan anak yang membuat kamu bahagia, tapi sikapmu terhadap anak itulah yang membahagiakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com