Bahkan, Adit mengaku, sebelum ambil bagian dalam seleksi yang digelar Bekraf, sebenarnya mereka pun sudah mendapat undangan langsung dari panitia Agenda Show, pada tahun-tahun sebelumnya.
"Tapi waktu itu kita belum bisa memenuhi undangan tersebut," kata Adit.
Baca juga: Bekraf Bawa 5 Brand Lokal ke AS, demi Tunjukkan Eksistensi Indonesia
Adit dan satu rekannya merancang desain untuk produk yang akan mereka pasarkan. Sementara, penjahitan dibuat oleh pihak ketiga, demikian pula dengan proses printing.
"Ya, strategi itu kita pakai untuk menjaga kualitas dan mencegah kebocoran. Kita juga lewati proses quality control dua kali untuk setiap produksi," kata Adit.
Jadi, kaus yang selesai dijahit akan diperiksa untuk ditentukan apakah layak secara kualitas. Setelah itu, barulah dikirim untuk proses printing.
"Balik dari printing lalu kita periksa lagi. Soalnya dulu ada seller dari Jepang yang teliti sekali dengan kualitas. Bukan bolong, ada sisa benang aja mereka reject," ungkapnya.
"Dulu waktu pertama, kiriman kita 30 persen di-reject sama mereka," sambung Adit.
Dari situlah, kini Paradise menerapkan dan menjaga standar kualitas, dan terbukti mampu berkembang ke pasar manca negara.
Laris manis dan kolaborasi
"Harga kami untuk kaus itu 35 dollar AS per buah (sekitar Rp 500 ribu)," ungkap dia.
"Kalau di pasar lokal, mungkin harga segitu belum bisa diterima ya, ya meski kami tetap menjual sebagian di pasar lokal dengan sistem bagi hasil, dengan harga Rp 350 ribu."
"Pembeli di Indonesia masih mikir, ah mendingan gue beli merek terkenal, tinggal nambah dikit."
"Padahal di luar negeri, orang-orang punya pride kebangsaan kuat banget, kenapa di Indonesia enggak bisa ya?" tutur dia.
Atas alasan itu pula, Paradise tak terlalu getol memasarkan produk kemeja mereka yang harganya mencapai Rp 1,2 juta per lembar.
Dengan banderol harga dan kualitas yang dijaga, kata Adit, produk Paradise toh mampu merambah pasar dunia.