KOMPAS.com - Minggu ini tak ayal pengusaha susu kental manis ‘ketiban pulung’. Barang dagangan yang laris manis, yang eksistensinya di rak toko makanan sejak saya kecil hingga hari ini, jadi ‘bahan pokok’ peracik martabak dan es doger mendadak dihujat.
Bukan hanya para pakar kesehatan, khususnya ahli nutrisi yang dikejar-kejar untuk memberi klarifikasi.
Justru mereka yang tadinya ‘ikut menikmati’ lelehan susu kental manis, seakan berebut panggung angkat suara – mulai dari usulan ekstrim menyetop produksi sampai saling tuding siapa yang mestinya patut dipersalahkan.
Bagi saya, kegaduhan seperti itu hanyalah mirip denyutan nyeri bisul yang tak kunjung meletus. Yang terkadang hilang sesaat setelah menelan obat pereda sakit. Tapi tidak menyelesaikan masalah.
Baca juga: Pangan ?Ultra-Proses?: Sukses Ekonomi Berbuah Kematian Dini
Bisul tetap ada, kejorokan merawat kulit masih terbiasa. Bahkan, radang bisa melebar ke bagian lain suatu hari nanti.
Jurus mendamaikan publik dan produsen dengan menyatakan susu kental manis aman selama bukan untuk pemenuhan gizi anak yang sedang tumbuh kembang pun, masih terdengar tendensius.
Seberapa sering, seberapa banyak, dan seberapa penting orang dewasa mengonsumsi cairan kental manis lengket yang memberi ketagihan itu?
Tidak banyak orang menyadari bahwa perilaku konsumsi sejak usia dini membentuk preferensi dan referensi.
Bukan hanya konten gizi yang tidak memenuhi kebutuhan tumbuh kembang, asupan anak yang tidak sewajarnya diam-diam akan membentuk perilaku konsumsi tersebut.
Baca juga: Suplemen: Kepercayaan atau Kebutuhan?
Anak yang terbiasa diberi susu rasa manis, akan juga mencari jus kemasan yang manis. Setelah dewasa pun, sayur asem yang dimasak akan dibubuhi sejumput gula pasir – walaupun masih bersikukuh nama masakannya tetap sayur ‘asem’.
Hal inilah yang membuat lembaga donor pendukung upaya perbaikan kesehatan ‘gregetan’, sosialisasi pangan sehat sudah dilakukan, deklarasi gizi seimbang sangat sering dilakukan, pelatihan tenaga gizi telah lebih dari cukup – tapi mengapa angka stunting dan malnutrisi masih tetap tinggi?
Jawabannya ada di perubahan perilaku. Perilaku makan dan hidup sehat tidak bisa ‘diocehkan’ semudah menerangkan dosis obat.
Komunikasi perubahan perilaku membutuhkan keterampilan khusus, sekaligus contoh. ‘Mentoring’ publik dan pasien sama sekali bukan keahlian yang diandaikan dimiliki otomatis oleh para lulusan ilmu rumpun kesehatan.