Perilaku makan yang sudah berurat berakar ditambah dengan minimnya literasi gizi, membuat kondisi kesehatan Indonesia semakin carut-marut.
Yang belum masuk usia produktif telah didera gangguan gizi untuk tumbuh kembang.
Sedangkan yang berhasil lolos di populasi usia produktif, makan semaunya asal kenyang dan mereka yang tertatih di umur pensiun dibebani penyakit katastropik yang mengerikan: diabetes, tidak cukup gula darahnya yang tinggi, tapi kerusakan ginjal mengharuskan cuci darah dua kali seminggu.
Baca juga: Mengapa Harus Mengandalkan Makanan Kemasan di Negeri yang Kaya?
Hipertensi tidak cukup bicara tekanan darah di atas rata-rata, tapi sudah berkembang menjadi gagal jantung menahun – yang membuat pasiennya bicara sebentar saja sudah ngos-ngosan seperti naik tangga tiga lantai.
Saya biasanya menggunakan ‘sampel’ orang-orang sederhana di sekitar saya, untuk menilai profil pangan sebagian besar masyarakat kita.
Mulai dari calon karyawan yang kos di perkotaan hingga calon asisten rumah tangga yang berasal dari pelosok provinsi Lampung.
Minyak goreng, mi instan, bubuk racikan kaldu instan, bakso, sosis, kecap, dan saus botolan adalah ‘gizi minimalis’ makanan harian mereka.
Diberi jatah telur dan ayam, mereka menolak halus. Dengan alasan tidak doyan, mual, atau ‘repot mengolahnya’. Apalagi jika diberi sayur dan buah.
Baca juga: Kesehatan, Lahan Rentan Bisikan
Ketika ditanya apakah makanan pilihan mereka sehat atau tidak, dengan senyum malu-malu menjawab, ”Insya Allah sehat. Orang-orang lain makan kayak gitu juga ndak sakit kok,”.
Jangankan bicara soal memenuhi tidaknya kebutuhan gizi, membaca label saja jarang ada orang yang paham.
Justru ada mahasiswa yang bilang, dengan adanya label maka perusahaan berani bertanggung jawab, apalagi sudah ada izin BPOM.
Tak heran begitu banyak yang syok saat BPOM membuat fatwa baru soal iklan susu kental manis. Walaupun produk itu sudah dinyatakan BPOM sendiri layak edar dan layak konsumsi.