Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Gizi Minimalis: Timpangnya Literasi dan Supervisi

Kompas.com - 15/07/2018, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Minggu ini tak ayal pengusaha susu kental manis ‘ketiban pulung’. Barang dagangan yang laris manis, yang eksistensinya di rak toko makanan sejak saya kecil hingga hari ini, jadi ‘bahan pokok’ peracik martabak dan es doger mendadak dihujat.

Bukan hanya para pakar kesehatan, khususnya ahli nutrisi yang dikejar-kejar untuk memberi klarifikasi.

Justru mereka yang tadinya ‘ikut menikmati’ lelehan susu kental manis, seakan berebut panggung angkat suara – mulai dari usulan ekstrim menyetop produksi sampai saling tuding siapa yang mestinya patut dipersalahkan.

Bagi saya, kegaduhan seperti itu hanyalah mirip denyutan nyeri bisul yang tak kunjung meletus. Yang terkadang hilang sesaat setelah menelan obat pereda sakit. Tapi tidak menyelesaikan masalah.

Baca juga: Pangan ?Ultra-Proses?: Sukses Ekonomi Berbuah Kematian Dini

Bisul tetap ada, kejorokan merawat kulit masih terbiasa. Bahkan, radang bisa melebar ke bagian lain suatu hari nanti.

Jurus mendamaikan publik dan produsen dengan menyatakan susu kental manis aman selama bukan untuk pemenuhan gizi anak yang sedang tumbuh kembang pun, masih terdengar tendensius.

Seberapa sering, seberapa banyak, dan seberapa penting orang dewasa mengonsumsi cairan kental manis lengket yang memberi ketagihan itu?

Tidak banyak orang menyadari bahwa perilaku konsumsi sejak usia dini membentuk preferensi dan referensi.

Bukan hanya konten gizi yang tidak memenuhi kebutuhan tumbuh kembang, asupan anak yang tidak sewajarnya diam-diam akan membentuk perilaku konsumsi tersebut.

Baca juga: Suplemen: Kepercayaan atau Kebutuhan?

Anak yang terbiasa diberi susu rasa manis, akan juga mencari jus kemasan yang manis. Setelah dewasa pun, sayur asem yang dimasak akan dibubuhi sejumput gula pasir – walaupun masih bersikukuh nama masakannya tetap sayur ‘asem’.

Hal inilah yang membuat lembaga donor pendukung upaya perbaikan kesehatan ‘gregetan’, sosialisasi pangan sehat sudah dilakukan, deklarasi gizi seimbang sangat sering dilakukan, pelatihan tenaga gizi telah lebih dari cukup – tapi mengapa angka stunting dan malnutrisi masih tetap tinggi?

Jawabannya ada di perubahan perilaku. Perilaku makan dan hidup sehat tidak bisa ‘diocehkan’ semudah menerangkan dosis obat.

Komunikasi perubahan perilaku membutuhkan keterampilan khusus, sekaligus contoh. ‘Mentoring’ publik dan pasien sama sekali bukan keahlian yang diandaikan dimiliki otomatis oleh para lulusan ilmu rumpun kesehatan.

Baca juga: Teror Kekisruhan Pangan, Bomnya Meledak Kemudian

 

Perilaku makan yang sudah berurat berakar ditambah dengan minimnya literasi gizi, membuat kondisi kesehatan Indonesia semakin carut-marut.

Yang belum masuk usia produktif telah didera gangguan gizi untuk tumbuh kembang.

Sedangkan yang berhasil lolos di populasi usia produktif, makan semaunya asal kenyang dan mereka yang tertatih di umur pensiun dibebani penyakit katastropik yang mengerikan: diabetes, tidak cukup gula darahnya yang tinggi, tapi kerusakan ginjal mengharuskan cuci darah dua kali seminggu.

Baca juga: Mengapa Harus Mengandalkan Makanan Kemasan di Negeri yang Kaya?

Hipertensi tidak cukup bicara tekanan darah di atas rata-rata, tapi sudah berkembang menjadi gagal jantung menahun – yang membuat pasiennya bicara sebentar saja sudah ngos-ngosan seperti naik tangga tiga lantai.

Saya biasanya menggunakan ‘sampel’ orang-orang sederhana di sekitar saya, untuk menilai profil pangan sebagian besar masyarakat kita.

Mulai dari calon karyawan yang kos di perkotaan hingga calon asisten rumah tangga yang berasal dari pelosok provinsi Lampung.

Minyak goreng, mi instan, bubuk racikan kaldu instan, bakso, sosis, kecap, dan saus botolan adalah ‘gizi minimalis’ makanan harian mereka.

Diberi jatah telur dan ayam, mereka menolak halus. Dengan alasan tidak doyan, mual, atau ‘repot mengolahnya’. Apalagi jika diberi sayur dan buah.

Baca juga: Kesehatan, Lahan Rentan Bisikan

Ketika ditanya apakah makanan pilihan mereka sehat atau tidak, dengan senyum malu-malu menjawab, ”Insya Allah sehat. Orang-orang lain makan kayak gitu juga ndak sakit kok,”.

Jangankan bicara soal memenuhi tidaknya kebutuhan gizi, membaca label saja jarang ada orang yang paham.

Justru ada mahasiswa yang bilang, dengan adanya label maka perusahaan berani bertanggung jawab, apalagi sudah ada izin BPOM.

Tak heran begitu banyak yang syok saat BPOM membuat fatwa baru soal iklan susu kental manis. Walaupun produk itu sudah dinyatakan BPOM sendiri layak edar dan layak konsumsi.

Baca juga: Kalau Bukan Tubuhnya Kerdil, Umurnya yang Kerdil

 

Keamanan pangan hari ini tidak lagi sebatas soal tidak mengandung zat berbahaya, mulai dari pengawet dan pewarna.

Melainkan keamanan jangka panjang yang memberikan risiko penyakit akibat asupan pangan yang tidak imbang dan potensial berisiko menyebabkan penyakit di masa mendatang.

Kita tidak bisa mengandaikan publik dan konsumen kita mempunyai literasi yang sama seperti di negara maju.

Susu kental manis tidak pernah dilarang produksi dan edarnya di negara mana pun. Tapi label dan literasi adalah senjata ampuh untuk mencegah salah konsumsi.

Di Indonesia, barangkali mesti ditambah: supervisi. Ibaratnya menjaga anak yang masih belum layak dilepas hidup sendiri.

Baca juga: Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi

Menautkan masalah di atas, saya tidak bisa membiarkan aspek kualitas edukasi yang baru saja dikeluhkan Menteri keuangan Sri Mulyani.

Disebut kualitas pendidikan kita masih di bawah Vietnam, rasanya kepala langsung berdenyut. Itu pun baru sebatas sains, matematika dan bahasa.

Bagaimana guru-guru kita bisa bunyi urusan gizi? Tak heran sup sosis yang bening masih dianggap lebih sehat ketimbang opor ayam.

Sudah waktunya barangkali kita perlu lebih ekstrim mendidik anak-anak : bahwa Tuhan menciptakan ayam, bukan sosis. Allah membuat apel, bukan biskuit rasa apel.

Sayur dan buah sudah menyatakan kehebatan kandungan nutrisinya melalui warna tanpa label.

Sedangkan, semua produk kemasan masih membutuhkan penjelasan panjang lebar melalui pembelaan penuh perjuangan.

Secara singkat, makanan yang Tuhan beri selalu berorientasi pada kebutuhan, sedangkan produk buatan manusia memang dirancang merangsang kecanduan.

 Baca juga: Papua, Mereka Dimiskinkan di Tanah yang Kaya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com