Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kurus, Gizi Buruk, Stunting: Wajah Ngeri Anak Indonesia

Kompas.com - 23/07/2018, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

Saya agak tercenung (jika tidak mau dibilang kaget) mendengar tema Hari Anak Nasional tahun ini yang begitu ‘megah’: Anak Indonesia GENIUS – akronim dari gesit, empati, berani, unggul, sehat).

Entah saya yang kurang visioner, ataukah jargonnya terlalu melayang di alam superhero. Bisa juga jargon muncul akibat terinspirasi iklan susu pertumbuhan yang membuat para ibu terlena seakan-akan susu menciptakan anak yang soleh dan cerdas.

Anak gesit, punya empati, berani dan berkualitas unggul justru dimulai dari mereka yang sehat. Faktanya, gambaran anak sehat masih jauh dari yang kita punya.

Bocah di bawah usia 2 tahun yang berpredikat stunting kehilangan hak gizinya sejak dalam kandungan hingga menderita kekerdilan dan kecerdasan kurang masih di angka 37.2%.

Balita kurus menurut riset kesehatan dasar 2013 sebesar 12.2%. Padahal, menurut organisasi kesehatan dunia WHO, negara berada di lampu merah jika angka stunting di atas 20% dan angka balita kurus di atas 5%.

Pendek, kurus atau gemuk, tidak mungkin diinterpretasikan dengan ‘perasaan’. Seperti kebanyakan pasien dewasa saya, ‘merasa’ badannya terlalu kurus – padahal indeks massa tubuh dalam batas angka normal.

Masalahnya, dia sudah terlalu lama berada di lingkungan orang-orang yang gemuk dan buncit. Biasanya pasien baru tenang setelah dijelaskan baik-baik dan diperkenalkan dengan kebenaran ilmiahnya.

Masih banyak orang tua yang tidak paham perbedaan anak stunting, kurus dan bergizi kurang. Lebih parah lagi, tidak mampu membaca grafik pertumbuhan dan menempatkan posisi anaknya ‘dimana’.

Berat badan berbanding panjang badan (disebut tinggi badan pada anak di atas 2 tahun) menunjukkan apakah anak dalam pertumbuhan fisik yang normal, kurus atau sangat kurus.

Grafik di bawah berlaku untuk anak laki-laki di usia 0 – 2 tahun. Misalkan panjang badannya 100 cm (lihat di sumbu mendatar) dan berat badannya di kisaran 15 kg (lihat di sumbu tegak lurus) maka titik pertemuannya jatuh di grafik hijau, artinya normal.

Tapi jika panjang badan 100 cm dengan berat badan 13 kg maka titik temunya ada di grafik berwarna merah, yang artinya minus 2 Standar deviasi dengan kata lain anak ini kurus.

Sedangkan panjang badan 100 cm dengan berat hanya 12 kg membuatnya jatuh di grafik hitam, artinya minus 3 Standar deviasi – atau sangat kurus.

weight for length boysWHO weight for length boys

Begitu pula dengan Tinggi Badan berbanding Umur. Anak perempuan dengan usia 1 tahun mempunyai panjang badan 75 cm dianggap normal (grafik bergaris hijau).

Tapi jika panjangnya hanya 69 cm, maka disebut pendek (grafik merah) dan pendek sekali jika hanya panjangnya 66 cm di usia 1 tahun (grafik hitam). Ini yang disebut stunting.

lenght for ageWHO lenght for age

Grafik pertumbuhan semestinya dimiliki oleh semua orang tua dengan anak balita. Bukan hanya dipahami petugas kesehatan. Jika kartu tumbuh kembang hanya memuat berat badan berbanding umur, maka hal ini baru menjelaskan tentang kondisi gizi saat itu (akut).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com