KOMPAS.com - Suami dan istri memang perlu menjadi satu tim yang kompak dalam mengarungi pernikahan.
Sayangnya, kekompakan tersebut terkadang bisa membuat kita tak lagi merasa sebagai sebuah individu, namun sebuah unit.
Perasaan itu dapat timbul karena kita terlalu tergantung dengan pasangan atau mengalami ketergantungan emosional.
Dalam konteks pernikahan, ketergantungan emosional adalah keadaan di mana harga diri seseorang menjadi terlalu terikat dengan tindakan dan perhatian pasangannya.
Walau pasangan bisa menyediakan perhatian yang kita butuhkan, namun lama kelamaan "targetnya" menjadi tinggi dan mungkin sulit dicapai.
Yang harus digarisbawahi adalah ketergantungan emosional dan kedekatan emosional adalah dua hal yang berbeda.
Ana Jovanovic, seorang psikolog klinis, mengatakan kedekatan emosional menyiratkan pemberian dan penerimaan.
Menurutnya, kita harus sadar bahwa pasangan kita bukan manusia sempurna dan bisa membuat pilihan berbeda, memiliki kebutuhan sendiri dan dapat merasa kecewa atau sedih.
Pasangan juga ingin memiliki waktu untuk diri sendiri atau bersama teman-temannya.
Baca juga: Survei, Pria Cenderung Memaafkan jika Pasangan Selingkuh?
Berbeda halnya dengan ketergantungan emosional yang sifatnya konstan, kuat dan hanya dapat diberikan oleh pasangan. Yang paling parah, ekspresi emosi pasangan pun makin lama jadi makin terbatas.
"Pasangannya lalu tidak diijinkan marah, untuk menyepi sejenak atau menghabiskan waktu dengan orang lain," kata Jovanovic.
Kita pun akan berubah menjadi orang yang manja, bergantung penuh, dan posesif
Jovanovic mengibaratkan kondisi ini seperti ketika kita memiliki telur dalam satu keranjang.
Ketika kita bergantung pada seseorang, rasanya seperti kita memiliki semua telur dalam satu keranjang. Kita pun mulai sibuk mencari tanda-tanda peringatan bahwa telur-telur itu berada dalam bahaya.
Komunikasi efektif