Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Gangguan Mental" karena Medsos Bernama "Dismorfik Snapchat"

Kompas.com - 07/08/2018, 17:00 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Inilah yang dapat memengaruhi harga diri dan memicu gangguan dismorfik tubuh atau body dysmorphic disorder (BDD) atau dysmorphia snapchat, --istilah yang diciptakan oleh Dr Tijion, Esho seorang dokter kosmetik.

BDD adalah kecemasan berlebihan dengan segala hal yang dianggap oleh penderitanya sebagai kekurangan dari penampilannya.

Demi mengatasinya, penderita seringkali menyembunyikan ketidaksempurnaan yang mereka miliki dengan cara yang tak sehat.

Penyakit mental ini diklasifikasikan pada spektrum obsesif kompulsif, yang secara mengejutkan, mempengaruhi satu dari setiap 50 orang.

Jumlah tersebut semakin bertambah karena ciri generasi milenial gampang terpengaruh oleh apa yang mereka lihat secara online.

"Kita sekarang melihat foto-foto diri setiap hari melalui platform sosial yang kita gunakan, yang bisa dibilang membuat kita lebih kritis terhadap diri sendiri," papar Esho.

Menurut dia, pasien yang menggunakan foto selebritas sebagai refrensi lebih baik daripada pasien yang menggunakan foto diri yang di-filter.

"Bahayanya adalah ketika ini bukan hanya titik referensi, tetapi itu menjadi bagaimana pasien melihat diri mereka sendiri, atau pasien ingin terlihat persis seperti gambar itu," papar dia.

Lebih jauh, selfie dengan filter bisa lebih berbahaya bagi penderita BDD.

"Remaja atau penderita BDD mungkin lebih menginternalisasi konsep kecantikan ini," papar Vashi.

Baca juga: Pesona Palsu Foto Selfie yang Diedit di Media Sosial

Survei di tahun 2017 dari ahli bedah plastik menemukan, 55 persen pasien yang ingin memperbaiki penampilan mereka berbekal foto selfie.

Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan survei 2013 yang dilakukan oleh The American Academy of Facial Plastic and Reconstructive Surgeons yang hanya menemukan jumlah sebesar 13 persen.

Bahkan, jumlah pasien berusia di bawah 30 tahun yang melakukan operasi plastik semakin meningkat.

Disebutakan, daripada melakukan prosedur bedah plastik, mereka yang menderita BDD sebaiknya mencari pertolongan psikologis seperti terapi perilaku kognitif.

Melakukan prosedur bedah plastik, kata Vashi, hanya akan memperburuk gejala BDD.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com