Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Gangguan Mental" karena Medsos Bernama "Dismorfik Snapchat"

Kompas.com - 07/08/2018, 17:00 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Aplikasi selfie yang menghadirkan fitur filter wajah ramai diminati para pengguna media sosial.

Fenomena ini berujung pada lahirnya masalah kesehatan mental yang serius.

Laman Independent memberitakan, kini banyak remaja menjalani operasi plastik agar terlihat seperti penampilan mereka dalam foto selfie yang menggunakan filter tersebut.

Inilah yang menunjukkan tanda meningkatnya masalah kondisi kesehatan mental.

Pada aplikasi Snapchat dan Instagram, misalnya, selain menambahkan animasi tanduk unicorn atau telinga anjing pada wajah, kita bisa membuat kulit nampak halus, wajah nampak tirus, hingga mengubah warna bola mata.

Layanan semacam inilah yang kemudian diyakini melahirkan "penyakit mental" baru yang disebut dengan "dysmorphia Snapchat".

"Sebuah fenomena baru yang disebut 'snapchat dysmorphia' telah muncul," kata dr Neelam Vashi, Direktur Pusat Kosmetik dan Laser Universitas Boston.

Baca juga: Rajin Selfie Tak Selalu Berarti Narsis

Menurut dia, 'snapchat dysmorphia' merupakan kondisi di mana pasien melakukan operasi untuk membantu mereka muncul seperti versi wajah hasil foto dengan filter.

Riset yang dipublikasikan di JAMA Facial Plastic Surgery juga membuktikan, aplikasi seperti snapchat dan edit foto lain, memang menjadi penyebab terbesar munculnya penyakit mental ini.

Aplikasi tersebut membuat orang terus melakukan selfie untuk mencapai tingkat 'kesempurnaan' fisik yang sebelumnya hanya terlihat di majalah selebritas atau kecantikan.

Menurut Vashi, pasien tidak lagi membawa foto selebritas saat akan menjalani operasi. Mereka membawa foto narsis mereka yang telah diedit, hingga menjadi "versi sempurna" dari diri mereka.

"Sedikit proses editing pada foto lewat aplikasi khusus, dapat membuat kulit terlihat halus, gigi terlihat lebih putih, dan bibir lebih besar," kata Vashi.

Nah, sekarang kian marak kaum milenial mencoba meniru kesempurnaan tersebut dalam kehidupan nyata.

Mereka mencarinya lewat perawatan yang dapat membentuk tulang pipi, meluruskan atau mengurangi ukuran hidung, atau membuatnya terlihat lebih ramping.

Foto-foto ini menjadi norma di media sosial. Kemudian, dalam kehidupan nyata, gagasan tentang apa yang menarik juga berubah.

Baca juga: Kenali Kepribadian Seseorang dari Cara Berdandan sampai Foto Selfie

Inilah yang dapat memengaruhi harga diri dan memicu gangguan dismorfik tubuh atau body dysmorphic disorder (BDD) atau dysmorphia snapchat, --istilah yang diciptakan oleh Dr Tijion, Esho seorang dokter kosmetik.

BDD adalah kecemasan berlebihan dengan segala hal yang dianggap oleh penderitanya sebagai kekurangan dari penampilannya.

Demi mengatasinya, penderita seringkali menyembunyikan ketidaksempurnaan yang mereka miliki dengan cara yang tak sehat.

Penyakit mental ini diklasifikasikan pada spektrum obsesif kompulsif, yang secara mengejutkan, mempengaruhi satu dari setiap 50 orang.

Jumlah tersebut semakin bertambah karena ciri generasi milenial gampang terpengaruh oleh apa yang mereka lihat secara online.

"Kita sekarang melihat foto-foto diri setiap hari melalui platform sosial yang kita gunakan, yang bisa dibilang membuat kita lebih kritis terhadap diri sendiri," papar Esho.

Menurut dia, pasien yang menggunakan foto selebritas sebagai refrensi lebih baik daripada pasien yang menggunakan foto diri yang di-filter.

"Bahayanya adalah ketika ini bukan hanya titik referensi, tetapi itu menjadi bagaimana pasien melihat diri mereka sendiri, atau pasien ingin terlihat persis seperti gambar itu," papar dia.

Lebih jauh, selfie dengan filter bisa lebih berbahaya bagi penderita BDD.

"Remaja atau penderita BDD mungkin lebih menginternalisasi konsep kecantikan ini," papar Vashi.

Baca juga: Pesona Palsu Foto Selfie yang Diedit di Media Sosial

Survei di tahun 2017 dari ahli bedah plastik menemukan, 55 persen pasien yang ingin memperbaiki penampilan mereka berbekal foto selfie.

Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan survei 2013 yang dilakukan oleh The American Academy of Facial Plastic and Reconstructive Surgeons yang hanya menemukan jumlah sebesar 13 persen.

Bahkan, jumlah pasien berusia di bawah 30 tahun yang melakukan operasi plastik semakin meningkat.

Disebutakan, daripada melakukan prosedur bedah plastik, mereka yang menderita BDD sebaiknya mencari pertolongan psikologis seperti terapi perilaku kognitif.

Melakukan prosedur bedah plastik, kata Vashi, hanya akan memperburuk gejala BDD.

"Selfie yang di-filter dapat membuat orang kehilangan kontak dengan realitas, membuat kita berharap agar terlihat sempurna sepanjang waktu," kata Vashi.

Baca juga: Kenali Kepribadian Seseorang dari Cara Berdandan sampai Foto Selfie

Vashi juga menekankan pentingnya pemahaman efek media sosial pada citra tubuh.

Fenomena "dysmorphia Snapchat" muncul setelah riset yang membuktikan media sosial berdampak negatif pada harga diri, dan meningkatkan risiko kesehatan mental.

Berdasarkan laporan the Office for National Statistic 2015, lebih dari seperempat remaja yang menggunakan media sosial selama lebih dari tiga jam sehari memiliki masalah kesehatan mental.

Untuk pasien yang menunjukkan gejala BDD, para peneliti dan dokter merekomendasikan skrining tambahan untuk memeriksa masalah mendasar.

Esho juga menyarankan adanya pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui semua unsur dalam dismorfik tubuh.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com