Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Bahaya Glorifikasi Generasi Milenial

Kompas.com - 23/08/2018, 07:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dialektika yang berkualitas terjadi bila tantangan atau hambatan itu besar. Sebaliknya, bila tantangan itu rendah, kualitas dialektikanya menjadi kecil. Makin besar ombak, makin piawailah pelaut, juga sebaliknya.

Saban generasi mengalami hal itu. Sebuatlah epos gerakan muda Indonesia pada 1908, 1928, 1945, 1966 dan 1998. Pemuda-pemudi di zaman itu lahir dari kawah candradimuka yang panas.

Berbeda dengan itu, era abundance tampak seperti kawah candradimuka yang hangat-hangat kuku. Seperti bukit yang landai atau jalan tol bebas hambatan.

Millennials yang karena lahir dari konteks ruang-waktu seperti itu, boleh jadi bukan pelaut yang tangguh.

Ditambah glorifikasi, itu seperti mengatakan kepada sopir amatir bahwa dia sangat ahli. Tentu berbahaya membuat seseorang gede rumangsa (GR atau gede rasa), bukan?

Generasi sebelumnya masih memiliki fatsun naik anak tangga setahap demi setahap. Millennials bisa melompati beberapa anak tangga sekaligus.

Proses itu mereka mampatkan seolah sedang berlari untuk mengejar sesuatu. Yang sayangnya, apa yang mereka kejar sebenarnya dibentuk dari media sosial.

Ia membandingkan dirinya dengan yang lain sehingga ia menginginkan hal itu. Generasi milenial haus eksistensi diri.

Kehausan eksistensi diri ini seperti perlombaan membangun citra diri agar tampil begitu memukau di media sosialnya. Agar tampak keren, agar tampak kreatif, agar tampak canggih dan tampak-tampak lainnya. Padahal, apa yang "tampak" belum tentu beresensi.

Tampak atau penampakan (appearance) adalah kulit atau permukaan. Millennials cenderung bekerja dalam spektrum yang artifisial itu.

Kadang yang penting adalah tampak keren dan melupakan substansi. Yang penting terlihat wow, tanpa memperhatikan pokok masalahnya. Jadilah millennials generasi artifisial.

Perlu gagal

Era abundance juga membuat millennials jarang rasakan kegagalan. Kegagalan biasanya dimulai dari kondisi keterbatasan.

Karena keterbatasan itu makin sedikit di zaman abundance, jadilah semakin sedikit mereka merasakan kegagalan. Padahal, seperti seorang anak yang belajar naik sepeda, ia perlu merasakan jatuh dan sakit.

Generasi milenial perlu merasakan kegagalan demi kegagalan. Itu adalah cara hidup yang realistik.

Bila kegagalan itu sulit dialami karena kondisi memang serba mudah, millennials perlu melakukan olah mental dengan sikap prihatin.

Prihatin ini adalah kosa kata asing bagi mereka. Generasi sebelumnya sudah terbiasa menjalaninya.

Millenials perlu membangun cara hidup prihatin dengan mengerem atau mengekang beberapa keinginannya. Tak semua keinginan harus dilakukan atau diwujudkan.

Parameternya adalah apakah keinginan itu sekadar untuk kepentingan dirinya atau yang lain. Dengan cara itu, mereka bisa mengurangi apa-apa yang selalu berorientasi pada kepentingan dirinya (ego sentris). Sekali lagi dikurangi, bukan dihilangkan.

Sebaliknya, menambah list apa-apa yang harus dikerjakan untuk kepentingan yang lain: orang lain, organisasi, komunitas, dan lainnya.

Agak terdengar moralis, memang. Namun, era abundance membuat kuota kegagalan alamiah menjadi lebih sedikit.

Oleh karenanya, prihatin diri yang disengaja adalah cara untuk membangun mentalitas yang kokoh. Bila tidak, ia sukses sebelum dirinya siap, ia besar dengan rongga yang menganga.

Seseorang dari generasi milenial pernah mengatakan kepada saya bagaimana ia bisa tak terasa menghabiskan tiga jam waktunya bermedia sosial.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com