Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Bahaya Glorifikasi Generasi Milenial

Kompas.com - 23/08/2018, 07:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BAGAIMANAPUN modus hidup generasi milenial saat ini masih hipotetis. Generasi ini dikenal cerdas, kreatif, multitasking, techno savvy, dan segudang kecakapan nonkonvensional lainnya.

Berbagai kecakapan itu diperoleh dari zaman yang berlimpah ruah atau abundance ini. Di sisi lain, generasi milenial punya kerentanan justru karena ia hidup dan dibesarkan di zaman itu. Sebuah ironi.

Era abundance ini memberikan berbagai fasilitas dengan mudah, yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Generasi pendahulunya, X, menikmati fasilitas dengan proses panjang, contohnya dalam karier.

X beradaptasi dalam keterbatasan sampai kemudian masuk ke era abundance. Sebaliknya, millenials langsung masuk dalam pusaran abundance tadi tanpa lewati masa keterbatasan.

Generasi milenial dapat akses berbagai informasi, jejaring sosial, dan berbagai event bergengsi lewat internet. Internet membuat sekat, batas, dan jarak menjadi tak lagi relevan.

Dengan cara begitu, mereka dapat merengkuh berbagai modal dengan begitu mudah. Lalu lintas barang dan jasa pun semakin murah sehingga membuat semua hal menjadi lebih mudah diakses.

Namun boleh jadi, kemudahan itu tak selaras dengan bangunan sikap mentalnya. Sikap mental ini adalah proses yang embedded atau menubuh dalam dirinya. Sebuah kondisi batin seseorang bagaimana ia merespons, meyakini, menilai, menghayati suatu hal.

Generasi milenial boleh jadi tak sempat membangun sikap mentalnya dengan kokoh ketika koneksi begitu tinggi.

Sebagai contoh, mereka sulit berkonsentrasi mengerjakan suatu hal. Karena bosan, ia langsung berpindah ke gawainya. Lambat laun pekerjaan terbengkalai.

Ia bolak-balik off dan on ke media sosialnya agar tak merasa kudet (kurang update). Itu juga menandakan tingkat durabilitas yang rendah. Sedikit bosan atau suntuk, langsung exit ke aktivitas lain.

Sombong sebelum waktunya

Sehari-hari saya menghadapi dan bercengkerama dengan mereka. Beberapa kasus yang saya lihat, biasanya yang sering terjadi soal deadline molor.

Hal yang lain seperti ego yang kelewat tinggi. Dengan bercanda saya bilang, "Sombong sebelum waktunya."

Mereka ingin sekali eksis dengan cara instan dan karenanya tak selaras dengan kapasitas atau kualitas dirinya.

Mereka sulit mengerjakan sesuatu dengan detail. Padahal, the evil is in detail. Bila tak detail, hasilnya pasti centang perenang dan tentulah medioker.

Kesulitan mereka bekerja dalam detail karena mitos kerja multitasking. Seolah mereka bisa mengerjakan banyak hal di satu waktu.

Namun, yang terjadi sebenarnya hanya menangguhkan satu pekerjaan untuk melakukan yang lain. Hasilnya, sekadar celup sana, celup sini, dan mentah semua. Tidak tuntas.

Obrolan soal generasi milenial ini santer diangkat di mana-mana. Banyak yang menaruh optimisme, tak sedikit yang pesimistis.

Namun, sebagian besar nadanya cenderung optimistik. Hasilnya, glorifikasi pada generasi ini.

Mereka dielu-elukan menjadi juru selamat di masa mendatang di saat dunia masuk Revolusi Industri 4.0.

Alih-alih membangun glorifikasi, kita perlu membangun cara pandang yang lebih realistik. Franklin D Roosevelt menyebutkan, "A smooth sea never made a skilled sailor."

Saya kira sampai milenia mendatang pun, pepatah itu akan benar adanya. Sebab, inti sari pepatah itu adalah hukum dialektika material, yakni suatu proses menghadapi masalah antara subyek dan konteks ruang-waktunya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com