KOMPAS.com - Seperti dikutip dari organisasi kesehatan dunia WHO, sehat itu bukan soal fisik bugar belaka. Itu pun barangkali kebugaran tampil sesaat karena habis mandi pagi.
Tampilan hitungan menit yang cepat berubah jika ekonomi tidak sehat dan politik berubah setiap saat.
Tulisan ini masih membawa nuansa bencana, yang tak henti-hentinya mendera Nusantara. Bencana akibat perbuatan manusia maupun bencana akibat alam yang sedang berencana, menggeser lempeng dasar bumi.
Bertepatan dengan bencana harga, saat ekonomi digoyang kekuasaan dolar. Pasar kian latah, nilai jual barang konsumsi sehari-hari pun ikut bertingkah.
Baca juga: Gempa Lombok: Bukan Sekadar Retaknya Jalanan dan Runtuhnya Rumah
Kondisi di atas sebetulnya tidak akan memberi pengaruh banyak bagi penduduk desa, yang tinggal mengambil sayur dan buah dari kebunnya sendiri dan ayamnya masih diberi makan jagung serta dedak.
Begitu pula jika nelayan masih makan hasil tangkapannya sendiri, bukan dijual demi satu dus mi instan yang terigunya saja impor.
Yang pasti menjerit tentunya orang kota, yang barang konsumsinya tidak ada satu pun yang tak terdampak dolar. Bahkan, pakan ayam dari peternak pun katanya masih impor.
Kerupuk putih yang biasa dibeli di warung pun, tepung tapiokanya dibeli dari Vietnam – begitu ujar pasien saya yang juragan kerupuk!
Begitu tidak berdayanya-kah kita, atau begitu malasnya-kah bangsa ini untuk mengolah segala sesuatu dengan keringat sendiri tanpa harus tergantung pada campur tangan bangsa lain?
Baca juga: Gizi Minimalis: Timpangnya Literasi dan Supervisi
Pikiran saya kembali pada evaluasi tanggap bencana Lombok, saat ibu-ibu harus belajar memberi bayi dan anaknya makanan yang tumbuh di halaman mereka, untuk tidak malu menjadi mampu.
Merupakan tamparan keras bagi siapa pun yang bergerak di gizi masyarakat, ketika bencana datang lalu rakyat yang terdampak menjerit menuntut makanan kemasan – bukan minta dikirim bahan makanan agar dapur ngepul.
Terlena dengan kepraktisan hidup, seperti seakan-akan Tuhan memberi bayi dalam kantong ari-ari dan langsung bisa tumbuh jadi sarjana.
Makan hanya dianggap ritual pengisi perut. Apa saja bisa masuk asal ada label halal dan cap BPOM.
Sama seperti pasien ada yang mengeluh,”Kenapa sih makan saja harus ribet. Saya ini orang praktis dan simpel, dok...”. Saya sampai tercenung lebih lama dibanding saat menjawab pertanyaan penguji disertasi.
Teknologi membuat manusia kian tidak berdaya. Pun saat tertantang menghadapi kebutuhannya sendiri.
Alih-alih menjadi penentu masa depannya, bisa jadi manusia jaman ini justru ditentukan masa depannya oleh imbas teknologi.
Baca juga: Kurus, Gizi Buruk, Stunting: Wajah Ngeri Anak Indonesia
Sepanjang pagi ini bertebaran info grafis anjuran memperketat impor dan kembali mengonsumsi produk lokal. Rasanya mau ‘tepok jidat’.
Ibarat tubuh sudah terlalu lama terinfeksi kuman tifus, demam sudah jadi kejang dan usus halus sudah tipis hampir perforasi – dan anjuran ke pasien: “Kurangi jajan ya... jika mau jajan, jajanlah yang sehat...”
Kantor berita asing Bloomberg baru saja merilis berita tentang parahnya produk pangan impor menguasai Indonesia yang bukan hanya dalam bentuk jadi, tapi unsur bahan baku yang telah meninabobokan bangsa ini selama puluhan tahun.
Anak-anak mengira mi kita adalah produk lokal (sebab diberi label lokal), seakan-akan mereka bisa saksikan gandum tumbuh di khatulistiwa.
Remaja berpikir bolpen, sepatu dan tas mereka juga hasil pabrik dalam negri – karena tertulis ‘made in Indonesia’ – tak mampu berpikir kritis bahwa kita ini hanya bangsa perakit.
Baca juga: Pangan ?Ultra-Proses?: Sukses Ekonomi Berbuah Kematian Dini