Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rasa Kesepian Memuncak Setelah Melewati Masa Kuliah

Kompas.com - 11/09/2018, 16:00 WIB
Nabilla Tashandra,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

Sumber Healthline

KOMPAS.com - Masa kuliah boleh jadi merupakan masa yang menyenangkan. Kita sudah tidak lagi dianggap remaja dan punya banyak kebebasan. Hidup tak pernah membosankan karena dikelilingi teman dan sering bersenang-senang.

Setelah masa itu lewat, fase hidup selanjutnya ternyata justru berlawanan. Kebanyakan orang akan merasa hidupnya kesepian.

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan pada Developmental Psychology di 2016   terungkap bahwa, baik laki-laki maupun perempuan menemui puncak kesepian sebelum usia 30 tahun.

Hasil studi itu kurang lebih sama dengan survei pada 2017 yang dilakukan oleh Jo Cox Loneliness Comission (kampanye dari Inggris yang bertujuan mengungkap krisis tersembunyi dari kesepian).

Survei dilakukan terhadap sebagian laki-laki di Inggris dan menemukan bahwa 35 tahun adalah usia ketika responden sangat merasa kesepian dan 11 persen di antaranya mengatakan mereka kesepian dalam kesehariannya.

Kita mungkin saja mengalami masalah keuangan, karir dan masalah hubungan, namun rasa kesepian seharusnya bisa dihilangkan jika kita berusaha.

Tess Brigham, Terapis asal San Francisco yang memiliki spesialisasi menangani dewasa muda dan millenial menjelaskan, ada banyak mitos tentang hal-hal yang terjadi pada usia 20 tahunan.

"Banyak klien saya berpikir mereka harus memiliki karir yang cemerlang, menikah, atau setidaknya bertunangan lalu memiliki kehidupan sosial menyenangkan sebelum berusia 30 tahun atau jika tidak, mereka gagal," kata Brigham.

Kondisi budaya terkadang juga membuat seseorang merasa hanya dirinya yang gagal dan tertinggal.

Baca juga: Kesepian, Fenomena Kekinian yang Menghantui Kehidupan

Contoh yang nyata adalah ketika seseorang melihat kehidupan teman-temannya lewat media sosial. Apa yang ditampilkan di media sosial memang tidak mewakili kehidupan asli, tapi tetap saja banyak orang muda merasa sendiri.

Ketika orang lain di media sosial, termasuk influencer dan pesohor, tampak memiliki kehidupan yang lebih baik, hal ini perlahan membuat kita merasa gagal.

Bersosialisasi atau berteman juga semakin sulit seiring bertambahnya usia dan kesibukan mengejar karir. Jika teman-teman dulu mudah ditemui, kini mereka lebih sibuk bahkan tersebar di beberapa kota atau negara.

Sayangnya, Brigham mengatakan, banyak orang malas membangun pertemanan baru. Padahal ikatan sosial akan membantu kita melewati kesepian dalam hidup.

Para psikolog menyebut, setidaknya ada tiga kondisi dalam membuat pertemanan, yakni unsur kedekatan, pengulangan dan interaksi tak terencana, serta latar tempat.

Kondisi ini semakin minim ketika kita sudah meninggalkan kehidupan kampus.

Alisha Powell salah satunya. Perempuan berusia 28 tahun yang bekerja sebagai pekerja sosial di Washington SC itu merasa kesepian. Karena bekerja freelance, ia merasa semakin tak memiliki kesempatan untuk bertemu orang lain.

Tidak memiliki jam kerja kantoran tersebut, menikah dan memiliki anak membuatnya semakin sulit membangun komunitas aktif. Ia merasa tak memiliki waktu menemukan orang-orang yang bisa memahaminya secara mendalam.

Mengempas kesepian

Kita mungkin sudah bosan mendengar saran-saran untuk melawan kesepian. Seperti mengurangi pemakaian media sosial atau menuliskan jurnal bersyukur.

Saran untuk mengempaskan kesepian sebetulnya cukup sederhana: pergilah keluar dan temui orang lain alih-alih hanya berbicara lewat pesan singkat atau media sosial.

Jadi, mengapa masih banyak yang tak melakukannya?

Mulai dari jumlah "likes" pada laman Facebook hingga pencapaian di Tinder. Banyak orang saat ini menginvestasikan diri di sana, membuat otak kita hanya terfokus pada hasil positif.

Mark Wildes, Penulis "Beyond the Instant", buku tentang menemukan kebahagiaan dalam era serba cepat, menyatakan, kelompok usia milenial tumbuh dengan kebiasaan mendapatkan apa yang diinginkan secara instan dan cepat.

Misalnya, koneksi internet yang cepat di ponsel mereka membuat mereka resah menunggu sesuatu terlalu lama.

Baca juga: Anak Milenial Pedenya Selangit, Simak Alasannya

Termasuk ketika bicara soal hubungan, banyak dari mereka terbiasa dengan hubungan yang dibangun dengan memilih "ya" atau "tidak" seperti pola pada Tinder.

Pada umumnya, kita berada pada lingkaran setan: takut distigmatisasi bahwa kita merasa kesepian, jadi kita merawat diri kita dan justru merasa lebih kesepian.

Carla Manly, PhD, psikolog klinis di California dan penulis buku "Joy Over Fear" menggarisbawahi bagaimana lingkaran setan tersebut bisa menghancurkan kita jika kita biarkan berlanjut.

Kesepian akan membuat seseorang malu dan enggan menceritakan pada orang tentang rasa kesepian tersebut. Pada akhirnya, kondisi tersebut akan membuat rasa depresi dan terisolasi yang dialami seseorang lebih kuat.

Jika kita tetap memikirkan untuk mendapatkan yang kita inginkan, hal ini akan selalu berujung kekecewaan.

Lagi-lagi, saran untuk mengusir kesepian tersebut adalah: pergi keluar dan melakukan sesuatu.

"Tidak ada penyelesaian yang instan untuk mengatasi kesepian atau rasa kompleks lainnya. Mengambil langkah artinya kamu siap untuk melalui masa-masa tidak nyaman terlebih dahulu," kata Manly.

Misalnya, cobalah pergi berjalan-jalan ke luar untuk menghampiri seseorang yang baru kamu kenal di lingkungan kerja. Lalu, ajaklah mereka makan siang di luar. Mereka mungkin menolaknya, tapi mungkin juga mereka tidak menolaknya.

Lihatlah penolakan sebagai bagian dari proses, bukan sebuah penghalang.

Brigham mengatakan, banyak yang terlalu banyak memikirkan dan menganalisa apa yang terjadi jika mereka ditolak dan terlihat bodoh.

Padahal, untuk membangun kepercayaan diri, kita harus melakukan aksi dan fokus mengambil kesempatan.

Penulis Kiki Schirr bahkan membuat satu target untuk tahun ini, yaitu bersiap menghadapi 100 kali penolakan. Ia akan melakukan apapun yang diinginkannya. Meskipun mungkin target tersebut belum tentu tercapai.

Sama halnya dengan persahabatan atau target kehidupan, melihat penolakan sebagai bagian dari kesuksesan bisa menjadi jawaban terhadap ketakutanmu selama ini terhadap kegagalan.

Atau jika media sosial adalah kelemahanmu, cobalah untuk mengubah perspektif kita tentang memandang kehidupan orang lain.

Kita bisa merasa bahagia untuk mereka ketimbang berharap menjadi mereka. Jika unggahan tersebut dilakukan oleh temanmu, kirimlah pesan untuk mereka dan tanyakan apakah kamu bisa ikut pergi bersama mereka di lain waktu.

Kamu mungkin saja diabaikan atau ditolak. Dua hal itu terdengar mengerikan. Namun, kamu tidak pernah tahu kecuali kamu menanyakannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Healthline
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com