Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/09/2018, 21:36 WIB
Windoro Adi,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

CIREBON, KOMPAS.com - Di satu siang yang panas dan berdebu, di pertengahan September 2018, di serambi Keraton Kanoman, Cirebon, Ratu Raja Arimbi Nurtina menunjukkan corak batik keraton karyanya, Batik Godong (Daun) Sekar Karniem (Enumeratio plantarum).

Bisa jadi, inilah karya pertama corak Keraton Kanoman.

Sebab, kata pengamat batik keraton, Elang Hilman, yang dihubungi terpisah di rumahnya, corak batik Keraton Kanoman, Kasepuhan, dan Kacirebonan, tidak lagi bertambah.

"Jadi sebenarnya, semua motif batik yang beredar di ketiga keraton adalah warisan Keraton Pakungwati sebelum dipecah-belah VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie/Perserikatan Dagang Hindia Timur) dan pemerintah Hindia Belanda."

"Warna dasar batik Pakungwati itu aslinya cuma dua, putih, dan warna gradasi kunyit terang hingga gelap atau nyepuh," ungkap Hilman.

Arimbi, sang juru bicara Keraton Kanoman pun, membenarkan.

Baca juga: Motif Ikonik Mickey Mouse Hiasi Batik Kolaborasi Disney x Iwan Tirta

Arimbi menjelaskan, Batik Sekar Karniem yang sudah ia paten-kan ini, sementara terbatas untuk kalangan perempuan keraton, khususnya Keraton Pakungwati.

"Harapannya, kaum perempuan yang memakai batik ini, harum."

"Harum tutur kata dan perilakunya; jernih, mencerahkan, dan harum pikiran dan hatinya; bersemangat dan produktif melakukan terobosan dan inovasi, menebar keharuman di manamana," tutur Arimbi.

Kalau permintaan batik tulis ini melimpah di luar. Apakah ibu ratu mau memertimbangkan menjual kepada mereka?

"Saya akan pertimbangkan kembali," jawabnya.

Ia menyampaikan hal itu karena gusar melihat kemajuan teknologi informasi bermacam motif  batik Keraton Pakungwati, cepat beredar di luar. Persaingan dalam bisnis batik pun, kian rapat.

Tampilan batik pun di luar keraton kadang lebih indah karena dikembangkan dengan bermacam warna.

"Itu sebabnya saya akan memertimbangkan kembali pengembangan dan peredaran Batik Sekar Karniem antara lain lewat online," ucap dia.  

Motif motif keraton

Arimbi kemudian menunjukkan sejumlah corak atau motif Keraton Pakungwati, koleksi Keraton Kanoman.

Batik motif naga yang dipakai oleh kaum pria keraton, terdiri dari motif Naga Utah Utahan, Naga Seba, dan Peksi Naga Liman.

"Motif Naga Utah Utahan (berasal dari kata dasar muntah karena kekenyangan) mengingatkan para pemimpin dan kalangan elit agar tidak rakus."

"Tahun 1986, Sultan ke-11 Keraton Kanoman, Raja Mukhamad Djalaludin, dan kakak saya, Sultan ke-12, Raja Emirudin, memakai kain batik ini saat serah terima jabatan sultan," ungkap Arimbi.

Motif Naga Seba, lanjutnya, mengingatkan pemakainya, agar selalu siap dipanggil Tuhan sewaktu waktu.

Oleh karena itu, ada motif kangkungan yang mengingatkan pemakainya agar selalu ingat Sang Pencipta.

Baca juga: Bahasa Simbol Motif Batik

Motif Sumping Kresna mengingatkan pemakainya agar memakai perhiasan secukupnya, dan pada tempatnya.

"Makna lainnya, kumpulkan dan tempatkan hartamu secukupnya. Jangan berlebihan," ujar Arimbi.

Motif Liris Keris, lanjut dia, mengingatkan pemakainya agar selalu "menyandang" keris.

"Keris sebagai ilmu pengetahuan untuk membedah segala rahasia alam, dan keris sebagai simbol kebijaksanaan dalam mengambil keputusan," ucap Arimbi.

Saat ini, tambah dia, Keraton Kanoman memiliki koleksi 25 motif Keraton Pakungwati.

Panembahan Losari

Hilman mengakui, produk kesenian Keraton Pakungwati sebenarnya didominasi karya karya Panembahan Losari.

"Dari bentuk kereta permaisari, Jempana, kereta Peksi Naga liman, dan Singobarong karyanya, ia bersama Pangeran P Nataguna menciptakan motif motif batik keraton yang kental dengan teknik seni lukis China."

"Memang ada pengaruh lain seperti India, Persia, dan Arab, tetapi kurang begitu kental," paparnya, pekan lalu.

Salah satu contoh corak yang paling populer adalah motif mega mendung dan wadasan.

Motif mega mendung diambil dari motif "payung" di kereta Jempana yang diadopsi dari awan pada lukisan klasik China, sedang motif wadasan terinspirasi oleh Gua Sunyaragi.

"Megamendung dan wadasan bedanya cuma yang satu horizontal, dan yang lain vertikal," kata Hilman.

Bentuk arsitektur bangunan keraton Pakungwati termasuk taman tamannya, dan kereta kereta keraton yang berakar dari sosok mitologi pun, lanjut Hilman, juga menjadi inspirasi untuk motif motif batik Pakungwati yang dibuat Pangeran Losari dan Pangeran Nataguna.

Peneliti sejarah keraton di Cirebon, Farihin, yang ditemui terpisah membenarkan apa yang di sampaikan Hilman.

Ia menjelaskan, Panembahan Losari, atau Pangeran Angkawijaya yang dimakamkan di Desa Losari Lor, Kecamatan Losari, tahun 1580, adalah cucu Sunan Gunung Jati.

"Beliau putra pasangan Ratu Wanawati, Pakungwati, dengan seorang pria, putra keturunan Raja Demak, Pangeran Dipati Carbon," papar Farihin.

Panembahan Losari, lanjutnya, memilih meninggalkan keraton dan tinggal di satu pedukuhan di tepi Sungai Cisanggarung (perbatasan Cirebon dan Brebes), yang kemudian menjadi tempat dia dimakamkan, dan dinamai Desa Losari.

"Alasannya, seperti dikutip Kitab Purwaka Caruban, beliau menghindari pertengkaran soal perjodohan dengan sang kakak, Panembahan Ratu.

Baca juga: Rayakan Kemerdekaan, Kunjungi Pameran Batik Peranakan

Selain itu, beliau ingin menepi, menjauh dari hiruk pikuk dan kemewahan keraton," ucap Farihin.

Corak batik Godong Sekar Karniem, batik Keraton Kanoman, Cirebon, karya Ratu Raja Arimbi Nurtina (kiri), Naga Utah Utahan, batik Keraton Pakungwati, Cirebon (tengah), dan Riris Keris-an, batik Keraton Pakungwati, CirebonKOMPAS/WINDORO ADI Corak batik Godong Sekar Karniem, batik Keraton Kanoman, Cirebon, karya Ratu Raja Arimbi Nurtina (kiri), Naga Utah Utahan, batik Keraton Pakungwati, Cirebon (tengah), dan Riris Keris-an, batik Keraton Pakungwati, Cirebon

Motif Indramayu

Karena keraton melarang warga biasa memakai kain batik produk keraton, maka berkembanglah di luar tembok keraton, batik pesisiran.

Muncullah kemudian di Cirebon motif motif seperti kapal labuh, kapal kandas, dan batik kenduruan di lingkungan peranakan China di Kota Cirebon.

Motif flora dan fauna yang berkembang di luar keraton, masih mirip dengan motif flora dan fauna di lingkungan keraton, dengan bentuk yang lebih sederhana.

Tidak demikian dengan motif batik Indramayu. Motif batik Indramayu lebih didominasi flora dan fauna laut, seperti motif ikan etong (abalistes stellaris atau ikan ayam ayam, atau ikan kambing kambing, atau ikan jebong), sisikan (sisik ikan), atau tanaman bakau.

"Perbedaan pokok antara batik keraton (Pakungwati) dengan batik Indramayu adalah, kalau batik keraton lebih banyak bermain motif simbol, maka batik Indramayu lebih memilih corak realitas alam, terutama alam laut."

Demikian penjelasan Carwati saat ditemui di rumahnya, Paoman, Indramayu, pekan lalu.

Baca juga: Memakai Batik dalam Gaya Lebih Modern

Maklum, sentra batik Paoman tempat neneknya mengembangkan rumah batik, didominasi para istri nelayan.

"Memang ada beberapa motif batik Indramayu yang serupa dengan motif batik yang berkembang di luar keraton di Cirebon yang menggambarkan flora dan fauna darat."

"Tetapi di Indramayu, kurang populer," sambung Carwati yang mulai melanjutkan usaha rumah batik neneknya sejak 2008.

Bisnis batik

Menurut Carwati, bisnis batik di Indramayu, terutama di Paoman, masih terus menanjak.

"Masih lebih tinggi permintaan daripada penawaran. Yang menjadi kendala adalah tenaga membatik sampai penjahitnya."

"Selain jumlahnya makin sedikit, kualitas kerja mereka pun makin rendah. Belum lagi soal etos kerja yang terus merosot," ungkap dia.

Demi mengantisipasi hal ini, Carwati dan sekitar 20-an pengusaha batik di Paoman yang rata-rata beromset Rp 60– 100 juta per bulan, mengembangkan batik cap halus.

"Tahun 2010 para pengusaha batik di Indramayu memang masih mengandalkan rejeki dari penjualan batik tulis yang banyak dibeli kolektor."

"Tetapi setelah tahun itu, angka penjualannya surut," ujar Carwati.

Kini, para pengusaha batik di Paoman lebih mengandalkan batik massal untuk pakaian seragam, atau busana bebas untuk dewasa dan anak anak.

"Perbandingannya, 60 (pakaian batik) banding 40 (kain batik). Batik cap masih menjadi andalan kami ketimbang batik printing."

"Sebab, sebagian masyarakat di sini masih menganggap, printing itu bukan batik," tutur Carwati.

Batik Indramayu, motif Banji Tepak yang menggambarkan kotak kota perhiasan (pengaruh China).KOMPAS/WINDORO ADI Batik Indramayu, motif Banji Tepak yang menggambarkan kotak kota perhiasan (pengaruh China).
Bagaimana dengan bisnis batik di lingkungan keraton ?

"Awalnya kami mengandalkan penjualan batik tulis untuk kalangan kelas atas, tetapi sekarang kami lebih mengandalkan pasar kelas menengah dengan batik cap kami," ungkap Arimbi.

Ia mengakui, derasnya penawaran serta perubahan motif motif batik di sejumlah sentra batik di Cirebon, dan Indramayu, membuat kalangan pengusaha batik di lingkungan keraton terengah-engah.

"Sekarang saja batik kami yang paling populer motifnya justru bunga bunga, dan nuansa laut. Itu pun batik cap," ungkap Arimbi.

Batik batik tulis dengan motif keraton, lanjutnya, hanya disukai para pembeli dari Jakarta.

"Harga termahal untuk batik tulis bermotif khas keraton, maksimal Rp 15 juta," tutur Arimbi.

Sama seperti yang disampaikan Carwati, kecenderungan bisnis batik saat ini adalah batik cap, bukan printing atau batik tulis.

Baca juga: Mengenal Bin-gata, Batiknya Okinawa di Jepang

"Memang permintaan masih lebih banyak dari penawaran, tapi kan para ‘pemain’ batik-nya pun sekarang lebih banyak," tutur Arimbi.

Ia mengakui, untuk memertahankan eksistensi batik keraton, mau tidak mau para pengelola keraton harus berani mengikuti perkembangan pasar, dan bersaing bebas dengan sentra sentra batik di Cirebon dan Indramayu.

"Kami harus mampu memelihara dan mengembangkan nilai lebih batik produk kami, dengan para pesaing," tegas Arimbi.

Apa nilai lebihnya?

"Tradisi dan ritual, serta pengembangan pariwisata di lingkungan keraton yang dihubungkan dengan bisnis batik kami," ujar Arimbi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com