Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mitos Kontrasepsi Bikin Kurang Bergairah, Hambat Edukasi Reproduksi

Kompas.com - 25/09/2018, 18:33 WIB
Kahfi Dirga Cahya,
Wisnubrata

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mitos soal kontrasepsi masih menjadi momok bagi edukasi kesehatan reproduksi di Indonesia.

Masalah yang terus berulang setiap tahun ini belum benar-benar terselesaikan, bahkan cenderung menghambat kerja pemerintah untuk pendidikan ke generasi milenial.

"Salah satu kendala utama edukasi bagi pasangan muda adalah masih adanya mitos rancu," ungkap Plt. Direktur Kesehatan Reproduksi BKKBN drg Widiwiono, M.Kes, Jakarta, Selasa (25/9/2018).

Sebut saja mitos soal kontrasepsi yang membuat seks kurang bergairah, pil KB bikin gemuk, hingga IUD yang bisa masuk ke bagian tubuh lebih dalam.

Tak ayal, mitos-mitos tersebut memberikan dampak negatif yang membuat orang enggan memakainya.

Dalam Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, misalnya, terlihat adanya penurunan penggunaan kontrasepsi modern, menggunakan alat, pada segmen usia muda (15-29) tahun secara signifikan sebesar empat persen.

Di sisi lain, ada peningkatan cara kontrasepsi tradisional, seperti senggama terputus, sebesar dua persen.

"Berarti ada orang yang sudah tahu, paham, tapi tidak menggunakan metode KB," kata Strategic Planning Manager DKT Indonesia, Aditya A. Putra,

Salah satu akibat dari angka penurunan tersebut, lanjut Aditya, terjadinya tingkat putus pakai yang cukup tinggi, terutama kontrasepsi jangka pendek.

Ia mencontohkan pil KB yang memiliki presentase tingkat putus-pakai hingga 46 persen. Artinya, hampir setengah dari orang yang pernah menggunakan pil KB memilih berhenti.

Aditya menambahkan, salah satu risiko dari kondisi tersebut adalah kehamilan tak direncanakan kian meningkat, terutama pada generasi milenial.

Widiwiono mengungkapkan, menurut data dari UNICEF-BPS tahun 2016, misalnya, diperkirakan sebanyak 14,2 juta anak perempuan akan menikah di tahun 2020, sebelum usia 18 tahun.

Risiko kehamilan di usia remaja

Data dari SDKI 2017 mengungkapkan, 36 dari 1000 perempuan melahirkan di usia 15-19 tahun. Meski diakui turun dari survei sebelum, namun persoalan ini tak bisa dianggap remeh.

Ada risiko yang masih membayangi kehamilan pada usia remaja--baik untuk ibu dan anak.

Menurut dr Uf Bagazi SpOG dari RS Brawijaya Antasari, risiko pada ibu adalah kematian karena ada tindakan di luar penanganan medis seperti aborsi. Kemudian edukasi ibu pun akan tehenti, dan risiko kesehatan jangka panjang.

"Karena bisa terjadi robekan di antara saluran cerna dan vagina. Risiko infeksi itu pun bisa berulang," ujar Bagazi.

Sementara pada anak atau bayi, risiko lahir tidak sesuai dengan umur kehamilan. Dampaknya, otak dalam janin tidak berkembang karena oksigen yang diberikan ke janin menurun.

"Jika tidak sampai 37 minggu, paru-paru juga tidak akan sempurna," kata Bagazi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com