Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sering Salah, Begini Cara Penanganan Gigitan Ular yang Tepat

Kompas.com - 01/10/2018, 07:27 WIB
Nabilla Tashandra,
Wisnubrata

Tim Redaksi

MANGGARAI TIMUR, KOMPAS.com – Penanganan kasus gigitan ular di Indonesia ternyata masih menjadi permasalahan yang patut disoroti. Tak sedikit pihak yang melakukan kesalahan prosedur penanganan sehingga mengakibatkan efek buruk bagi korban gigitan ular.

Meski belum ada jumlah pasti korban gigitan ular di Indonesia, namun perkiraan korbannya mencapai 135.000 orang per tahun. Di Indonesia sendiri diperkirakan ada 348 jenis ular dan 76 di antaranya berbisa.

Pada tingkat global, gigitan ular menelan korban hingga 4,5 juta orang setiap tahunnya dengan korban luka serius sebanyak 2,7 juta orang baik dewasa maupun anak, dan korban jiwa sebanyak 125 ribu orang.

Minimnya pemahaman penanganan korban gigitan ular bahkan membuat Pakar Gigitan Ular dan Toksikologi, DR. dr. Tri Maharani, M.Si SP.EM berkeliling Indonesia untuk membantu para korban.

“Karena saya melihat pasien gigitan ular terabaikan di Indonesia dan banyak orang yang mati percuma tanpa penanganan yang benar, akhirnya saya berkeliling Indonesia, berkomitmen untuk melatih masyarakat, dokter dan perawat untuk penanganan yang benar.”

Demikian diungkapkan Maha ketika ditemui dalam rangkaian acara Conservacation oleh Ades di Desa Bea Muring, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Beberapa contoh penanganan luka gigitan ular yang salah antara lain menggunakan garam, ikatan kencang, pengisapan darah di area tergigit, cross insisi, dan cara lainnya.

Padahal, kata Maha, penanganan pertama pada korban gigitan ular adalah imobilisasi atau bagian tubuh yang tergigit dibuat tidak bergerak.

Kepala IGD RS Umum Daha Husada, Kediri, Jawa Timur itu menambahkan, dari penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 79 persen gigitan ular tidak melalui pembuluh darah melainkan lewat pembuluh getah bening. Sehingga, darah korban gigitan ular tak perlu disedot.

“Prinsipnya imobilisasi. Pergerakan otot akan membuat kelenjar getah bening menyebarkan bisa ularnya, maka kita harus membuat dia (korban) tidak bergerak,” ujar Kepala Departemen Instalasi Gawat Darurat RS Umum Daha Husada Kediri itu.

Nah, ada beberapa tahapan yang bisa kita lakukan jika terkena gigitan ular. Antara lain:

1. Membuat bagian yang tergigit tidak bergerak

Kita tak memerlukan peralatan yang terlalu canggih. Benda seperti kayu, gedebog pisang, kulit kayu, kardus, dan benda rigid lainnya bisa dimanfaatkan.

Caranya, ambil dua bilah benda tersebut untuk menahan bagian yang tergigit dari ujung jari hingga ujung sendi.

“Jika kaki, berarti dari ujung kaki sampai pangkal paha karena kita ingin membuat kelenjar getah bening yang ada pada otot-otot tidak bergerak karena ototnya gerak,” kata Maha.

Jika kesulitan menemukan benda keras dan korban memiliki kain atau selendang, maka benda tersebut bisa dipergunakan. Jika gigitan ular terjadi pada tangan, ikat tangan seperti menangani patah tulang tangan.

“Yang penting tidak bergerak. Mulai ujung jari hingga sendi,” kata dia.

2. Ikat

Gabungkan dua bilah benda tersebut menggunakan kain, perban atau elastic band aid agar dua bidang tersebut menopang bagian tubuh yang tergigit dengan baik.

Jika kejadian berada di tengah hutan dan korban tak bisa menemukan peralatan penanganan apapun, tetaplah diam di tempat dan tidak bergerak selama dua hari. Apalagi jika gigitan terjadi pada bagian kaki.

Sebab, pergerakan otot akan membuat kelenjar getah bening menyebarkan bisa ular ke seluruh tubuh.

“Diam di situ dua hari. Kalau Anda berjalan nanti jadi sistemik dan justru meninggal. Karena antivenom hanya ada di saya. Tapi kalau (yang digigit) tangan, bisa berjalan dan kalau (tubuh) diangkat boleh,” ujar Maha.

3. Beri sinyal darurat

Jika memungkinkan, buatlah sinyal darurat agar orang lain mengetahui keberadaan kita. Terutama jika peristiwa gigitan ular terjadi di tengah hutan atau daerah terpencil lainnya.

“Bagi yang suka berpetualang, sinyal belum tentu ada. Saya sarankan bawa alat emergency seperti peluit,” kata dia.

4. Pergi ke pelayanan kesehatan

Pergilah ke rumah sakit atau jika kamu menangani korban, bawalah korban tersebut ke pelayanan kesehatan terdekat. Di sana akan dilakukan observasi selama 48 jam (dua hari).

Jika fisik korban tidak menunjukan adanya tanda-tanda fase yang lebih berat atau fase sistemik, maka korban boleh pulang.

Adapun gejala fase sistemik berbeda-beda untuk setiap jenis gigitan ular. Gejala pada korban gigitan ular hijau, misalnya, seperti pendarahan, pendarahan gusi, mimisan, muntah darah, atau kencing darah.

Sementara jika ular yang menyerang memiliki jenis bisa neurotoksin (racun bereaksi di sel saraf) seperti kobra, maka gejala yang mungkin timbul di antaranya mata tidak bisa terbuka, sesak, gagal nafas, hingga gagal jantung.

“Jika tidak seperti itu maka dalam 48 jam bisa pulang. Bisa pakai obat analgesic, jangan asam mefenamat karena akan menimbulkan pendarahan. Pokoknya golongan yang bukan NSAID,” tuturnya.

Namun, jika terjadi pendarahan, Maha menyarankan korban atau keluarga korban menghubunginya. Sebab, Maha sebagai penasehat WHO untuk gigitan ular adalah satu-satunya orang yang memiliki izin edar Serum Antibisa Ular (SABU) di Indonesia di luar tiga jenis ular.

Indonesia sendiri hanya memiliki tiga antibisa ular, yakni untuk ular kobra Jawa, ular welang dan ular tanah.

“Silakan hubungi saya karena satu-satunya yang punya antivenom tersebut cuma saya dan bisa gratis,” kata lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang itu.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com