Ada pula Alleira Batik yang baru saja berkolaborasi dengan desainer asal Malaysia, Michael Ong untuk menampilkan koleksi pakaian batik dengan tema “Batik Now”.
Koleksi tersebut memiliki desain yang muda dan santai karena terinspirasi dari street wear, sport wear dan casual wear. Motif batik dituangkan dalam busana bersiluet longgar, seperti jaket dan baju tangan panjang.
Hasilnya, penggabungan batik tradisional dan gaya milenial dalam koleksi busana tersebut membuat kita semua terkagum.
Selain itu, ada juga Bateeq yang dengan tegas menyebut labelnya konsisten menargetkan pasar anak muda. Konsistensi tersebut diawali dari ketidaksukaan CEO Bateeq Michelle Tjokrosaputro terhadap batik. Michelle dulu menilai bahwa batik terkesan tua dan tidak modis.
Tanpa meninggalkan filosofi batik, Bateeq mengemasnya menjadi busana dengan potongan yang edgy, berani dan kekinian. Seperti setelan celana, jaket atau ponco.
Masa depan batik
“Dengan semua memakai itu sudah satu cara atau usaha untuk melestarikan batik. Kan kalau tidak dibeli untuk apa orang membuat? Batik dalam bentuk apapun, itu kan style-nya saja.”
Hal itu diungkapkan desainer Denny Wirawan ketika ditemui di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (1/10/2018). Denny juga mengolah kain batik Kudus sebagai koleksi busana dan sempat membawanya ke sejumlah agenda mode internasional.
Menurutnya, masyarakat Indonesia perlu berbangga dengan perkembangan batik dari waktu ke waktu. Mulai dari batik yang dulunya terkesan eksklusif bagi kalangan kerajaan, kemudian menjadi busana yang cenderung formal, hingga kini menjadi lebih memasyarakat.
Dengan semakin cairnya batasan-batasan tersebut, maka batik dianggap punya peluang besar untuk lebih terangkat pada skala global.
“Di beberapa daerah mungkin masih ada motif batik yang disakralkan, tapi secara umum sudah tidak ada. Untuk saya, itu suatu kemajuan,” kata Denny.
“Karena batik sebagai warisan budaya, kalau ada terus batasan seperti itu maka akan sulit memajukan atau mengangkat warisan budaya kita.”