Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/10/2018, 08:17 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Wisnubrata

Tim Redaksi

"Saat makam malam, Bung Karno minta untuk dibuatkan batik yang bisa diberi nama batik Indonesia. Jadi, bukan batik Solo, Batik Yogya atau atau batik pesisiran," tambah pria berusia 68 tahun ini.

Profesi orangtua Go Tik Swan saat itu memang seorang pengusaha batik di Solo yang memiliki ribuan pekerja. Keluarganya tak hanya dihormati oleh pekerja, tapi juga masyarakat sekitar.

Tak ingin mengecewakan presiden, pria kelahiran 11 Mei 1931 ini pun langsung menyanggupinya.

Setelah lama mencari inspirasi, akhirnya Go Tik Swan menggabungkan berbagai karkater dari batik Solo, Jogja dan Pesisiran menjadi satu hingga terciptalah batik Indonesia.

"Jadi, kalau batik pesisiran itu ciri khasnya kan warnanya cerah-cerah. Kalau batik keraton, seperti keraton Solo dan Jogja itu warnanya cenderung gelap. Semua itu digabungkan hingga menjadi batik Indonesia," ucapnya.

Kedekatan dengan kelaurga Keraton

Go Tik Swan sangat dengan dengan KGPH Hadiwijaya yang merupakan salah satu putra dari Pakubowono X, yang juga seorang pegiat seni dan tari Jawa.

Hubungan dekat tersebut, akhirnya membuahkan kepercayaan Go Tik Swan untuk membangun Art Gallery Keraton yang kini dikenal dengan Museum Keraton Surakarta.

Setelah 10 tahun peresmian Museum, ia diangkat menjadi Bupati Anom dengan Gelar Raden Tumenggung oleh Pakubuwono XII.

Seiring berjalannya waktu, gelar yang didapatkannya semakin meningkat hingga ia mendapatkan gelar Panembahan, yang merupakan gelar tertinggi dalam sejarah Jawa.

"Belum pernah ada orang di luar tembok keraton yang mendapat gelar Panembahan," ucap Soewarno.

Selain itu, dari Presiden Soekarno Go Tik Swan juga mendapatkan Satya Lencana Kebudayaan.

Soewarno juga mengatakan belum ada pembatik yang mendapatkan Satya Lencana Kebudayaan, penghargaan yang setara dengan Satya Lencana Kemerdekaan dan Satya Lencana Pembangunan.

"Go Tik Swan memang dari kelaurga China. Tapi, dia ahli sastra jawa dan ahli budaya Jawa. Ia lebih Jawa dari orang Jawa sendiri. Ini bisa dilihat dari tutur kata dan kesehariannya" tambahnya.

Tantangan

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com