Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/10/2018, 16:00 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

Namun, waktu tersebut baginya tak cukup.

"Untuk hanya memberi satu titik saja juga butuh ketepatan. Misalnya, saat lilin yang dipakai terlalu panas, nanti lilin akan meluber kemana-kemana. Kalau terlalu dingin, nanti nggak bisa keluar. Bahkan, untuk membuat satu garis lurus saja itu juga sulitnya minta ampun," ujarnya.

Semua kesulitan tersebut bagi Naomi adalah keunikan tersendiri dalam membatik. Inilah yang membuatnya semakin tertarik

"Yang membuat saya tertarik datang ke Indonesia, salah satunya adalah batik. Saya merasa beruntung bisa langsung belajar membatik," ucapnya dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar.

Batik di mata masyarakat

Naomi bercerita di negari Sakura, tanah kelahirannya, batik telah lama terkenal. Bahkan, masyarakat Jepang juga mendirikan semacam perkumpulan yang mewadahi para pecinta batik.

"Kalo di Jepang itu ada banyak kelompok pecinta batik sekaligus komunitas pecinta membatik, yang gurunya juga orang Jepang," ungkap Naomi.

Wanita berambut panjang ini juga bercerita jika yang bergabung dengan kelompok tersebut berasal dari berbagai lapisan masyarakat, bukan hanya akademisi atau peneliti saja.

"Bahkan, ibu rumah tangga juga ikut. Mereka juga belajar membatik di kelompok itu," ungkap Naomi.

Ia mengaku mengenal batik berkat salah satu gurunya yang juga menjadi kolektor batik. Berkat sang guru, Naomi pun tertarik untuk mendalami dan meneliti tentang batik hingga ke Indonesia.

Sayangnya, keindahan dan nilai estetika tinggi dalam batik nampaknya tak begitu menarik minat generasi muda di Indonesia. Ini terbukti dari kurangnya kaum muda yang berminat untuk menjadi pembatik.

"Iya, anak-anak saya nggak ada yang jadi pembatik. Mereka enggak minat," ucap Hadi salah satu pembatik berusia 77 tahun.

Hal ini juga diakui oleh KRRA. H. Hardjosuwarno pengrajin batik dan ahli waris Go Tik Swan. "Ini yang membuat sedih, generasi saat ini gak ada yang mau jadi pembatik. Lihat saja di sini para pembatiknya sudah berusia lanjut," ucapnya.

Menjadi karyawan kantoran, bekerja di pabrik atau bahkan menjadi TKI, menurut Suwarno, lebih menarik minat generasi masa kini.

"Pembatik itu memang dipandang sebelah mata karena gajinya sedikit. Padahal, yah, alhamdulilah, bisa mencukupi sehari-hari. Tuhan maha adil," kata Martun, salah satu pembatik.

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com