Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/10/2018, 06:13 WIB
Nabilla Tashandra,
Wisnubrata

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wajah Sri Lestari tertekuk sembari mengeluhkan kondisi putra semata wayangnya yang terus menerus bermain game.

Sri bercerita, nilai semester putranya, Alfitra, memburuk dalam beberapa waktu terakhir. Sang anak menurutnya kerap melalaikan aktivitas lainnya untuk main game, termasuk malas mandi.

“Sampai malas mandi, badannya bau, malas sikat gigi. Papanya sampai beliin sabun yang sekalian buat keramas juga. Maksudnya, kalau emang malas pakai saja itu,” kata Sri saat berbincang dengan Kompas Lifestyle, Agustus lalu.

Menurutnya, Afit, demikian putranya kerap disapa, bermain games sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Sedangkan saat ini, ia sudah semester tiga.

Mengaku khawatir dengan kondisi putranya, Sri dan suaminya hampir setiap sebulan sekali mengunjungi Afit di Purwokerto.

Ia menceritakan, putranya sering sudah tak lagi memiliki baju karena semua bajunya habis dipakai dan masih dalam keadaan belum dicuci. Lemarinya kosong dari pakaian.

Ayahnya lah yang selalu pergi ke pusat binatu (laundry) untuk mencucikan baju Afit. Saking seringnya, penjaga pusat binatu pun sampai mengenali betul ayah Afit. Berat pakaian kotor tersebut, kata Sri, bahkan bisa mencapai 10kg.

Sementara dirinya seringkali ikut menggantikan seprai tempat tidur Afit serta menyapu atau mengepel lantai kamar kos putranya.

Suatu hari, Sri bahkan pernah menemukan banyak sekali bekas kartu perdana berserakan di kosan Afit. Ia sempat khawatir putranya lebih memprioritaskan membeli kuota internet ketimbang makan.

Hati kecilnya terkadang ingin memberi Afit uang tambahan, namun ia juga khawatir uang lebih tersebut justru digunakan untuk keperluan putranya bermain games. Sebab, pada masa awal kuliah, Sri pernah memberikan Afit uang saku sekitar Rp 1,2 juta yang kemudian sudah habis dalam empat hari.

Namun, dilema dirasakannya karena jika uang jajan dikurangi, ia khawatir Afit justru tidak bisa makan.

Perasaan khawatirnya semakin menjadi ketika mengetahui putranya mendapatkan transfer hingga Rp 11 juta.

“Saya sih enggak ngerti yang begitu, katanya jual akun. Sampai dapat Rp 11 juta waktu SMA. Saya bilang, “mama enggak mau kayak begitu, itu judi”,” tutur warga Jakarta Selatan itu.

Mengkhawatirkan kondisi tersebut, Sri pun memberikan Afit rekening bank miliknya. Sehingga, ia bisa mengontrol uang masuk dan keluar anaknya dari jauh.

Kekhawatirannya semakin besar ketika tahu bahwa beberapa di antara teman main games putranya ternyata berusia jauh lebih tua. Hal itu diketahui Sri dari percakapan Afit dengan orang yang dipanggilnya dengan sebutan “om”.

Baca juga: Kecanduan Main Game Bisa Jadi Tanda Gangguan Jiwa

Di samping itu, Sri juga menemukan bahwa putranya menggunakan akun Facebook dengan nama buatan untuk berinteraksi dengan teman-teman mainnya tersebut.

Beberapa perubahan perilaku juga dialami oleh Afit. Misalnya, melawan ketika disuruh melakukan sesuatu seperti beribadah. Padahal, menurutnya kebiasaan itu sebelumnya tak pernah dilakukan oleh putranya.

“Lalu saya konsul dengan bapaknya, ini kayaknya sudah kecanduan banget karena rawat diri sendiri saja sudah enggak bisa. Kami kan orangtua khawatir masa depan dia,” ucap Sri.

Klinik adiksi

Beruntung, suami Sri adalah pegawai di Pemerintah Daerah DKI Jakarta di bagian perizinan kesehatan. Sehingga, suaminya bisa dengan mudah mencari informasi soal masalah kesehatan dari beberapa pihak yang dikenalnya.

Salah satu dokter kemudian merekomendasikan mereka untuk berkonsultasi dengan praktisi adiksi, dr. Kristiana Siste Kurniasanti, SpKJ (K) dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com