Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/10/2018, 11:44 WIB
Nabilla Tashandra,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

Pemerintah rupanya menyadari parahnya masalah kecanduan gawai yang dialami banyak anak-anak di tanah air. Kecanduan gawai dianggap menjadi salah satu hal yang berpotensi menghambat perkembangan anak menuju puncak bonus demografi pada 2030.

Padahal, pada 2030 diperkirakan jumlah masyarakat usia produktif diprediksi mencapai 70 persen.

“Bonus demografi bisa kehilangan momentum kalau kemudian permasalahan terkait anak yang menyebabkan penurunan kualitas hidup anak tidak bisa tertangani dengan baik,” kata Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu.

Isu gawai dianggap menjadi sebuah isu nasional. Dalam sebuah acara yang dihadiri ratusan anak Juli lalu, Menteri PPPA Yohana Yembise mengaku sedih bahwa perhatian anak-anak di ruangan tersebut bukan pada dirinya atau pembicara lain, melainkan pada layar ponsel mereka.

Ia menambahkan, otak anak sebetulnya masih sangat bagus dan memiliki daya nalar kuat. Namun, penggunaan gawai yang berlebihan akan memberi dampak buruk bagi anak.

Misalnya, berkurangnya konsentrasi, gangguan perkembangan psikomotorik, menurunnya daya memori dan berpikir, lemahnya daya pikir analitis dan kritis, hingga gangguan fisik seperti rusaknya retina mata.

Ia pun mengimbau agar anak-anak menyeimbangkan aktivitas menggunakan gawai dengan aktivitas luar ruangan. Misalnya, bermain di luar atau bahkan membaca buku.

“Gunakan waktu luang, belajar. Jangan sampai hanya habis di internet. Bacalah buku-buku yang bermanfaat bagi masa depan,” tuturnya.

Empat kementerian pun kini tengah menggodok regulasi pembatasan penggunaan gawai, yakni Kementerian PPPA, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama.

Rencananya, regulasi akan berbentuk Peraturan Menteri Bersama.

Baca juga: Waspada, Inilah Gejala Kecanduan Gawai

Pribudiarta menjelaskan, untuk jangka panjang substansi regulasi akan masuk ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) Perlindungan Khusus amanah Pasal 59, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Pasal tersebut merinci tentang kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah serta lembaga Negara lainnya terhadap perlindungan anak. Pada Pasal 59A dijabarkan lebih rinci mengenai upaya yang dilakukan terkait “Perlindungan Khusus” tersebut.

Kasus kecanduan gawai, kata Pri, sebetulnya adalah sebuah fenomena gunung es. Saat ini mungkin baru beberapa kasus yang muncul di permukaan. Namun pada kenyataannya, potensi kasus sebetulnya sangat besar.

“Kalau datanya bisa data gunung es karena banyak yang tidak terlihat di permukaan. Tapi yang pergi ke unit layanan sekarang sudah banyak. Publik juga jadi tahu bahwa ini penyakit,” ujarnya.

Namun, pihaknya belum menentukan apakah regulasi tersebut nantinya ditujukan untuk melakukan pembatasan penggunaan gawai lewat ranah pendidikan atau melalui bentuk lainnya.

Menurut Pri, kajian awal kebijakan bisa mulai dari perbandingan dengan negara-negara lain.

Ia mencontohkan aturan yang diberlakukan pendiri Microsoft Bill Gates terhadap anak-anaknya.

Gates melarang anak-anaknya menggunakan gawai sebelum berusia 14 tahun karena memahami bahwa penggunaan gawai yang tidak bijak bisa mengganggu perkembangan anak.

Baca juga: Ada Klinik Khusus Kecanduan Gadget di Jakarta Lho...

Menurutnya, fenomena ini harus dilihat dari berbagai perspektif sehingga empat kementerian bisa mengambil kesimpulan awal untuk memberlakukan pembatasan tertentu.

“Eksekusi juga tidak mungkin hanya dilaksanakan empat kementerian, semua harus terlibat,” tuturnya.

Ilustrasi anak main gadget.Thinkstock Ilustrasi anak main gadget.
Pembatasan penggunaan gawai oleh anak ternyata memang sudah diberlakukan di beberapa negara. Kepala Departmen Medik Kesehatan Jiwa RSCM-FKUI, dr. Kristiana Siste Kurniasanti, SpKJ (K) mencontohkan Korea Selatan yang membatasi penggunaan internet di malam hari untuk anak di bawah usia 18 tahun.

Pemerintah setempat, kata Siste, juga bekerjasama dengan perusahaan games agar kata kunci atau password anak diketahui orangtua bahkan hanya dimiliki orangtua. Sehingga waktu anak bermain games bisa lebih terkontrol.

“Jadi berada di bawah supervisi orangtua. Di China juga sudah berlaku,” ujar Siste.

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menilai penggunaan gawai oleh anak memang perlu diatur. Ketua KPAI Susanto menyebutkan setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, dari segi usia. Menurutnya, perlu ada rentang usia tertentu yang diperbolehkan menggunakan gawai.

Selain itu, gawai menurutnya tak boleh diberikan secara otonom kepada anak, melainkan menjadi milik keluarga. Dengan begitu, keluarga bisa lebih leluasa memantau dan melihat pergerakan anak ketika menggunkan gawai.

Orangtua juga perlu mengetahui semua password akun yang digunakan anak. Sebab, kata Susanto, masalah perdagangan anak kebanyakan berawal dari media sosial.

Kedua, pola pencegahan perlu diatur secara lebih komprehensif.

Terakhir, perlunya menegaskan peran institusi pendidikan dalam masalah pengaturan penggunaan gawai. Misalnya, dengan menentukan durasi penggunaan gawai pada jam sekolah sehingga konsentrasi anak tak terpecah saat belajar.

“Dengan begitu, masyarakat paling tidak memiliki acuan. Sekarang kan tidak ada acuan,” ucapnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com