KOMPAS.com – Kasus kekerasan seksual atau pemerkosaan sudah pasti melibatkan dua pihak, korban dan pelaku. Ada banyak sebab yang membuat pemerkosaan bisa terjadi, mulai dari hasrat biadab pelaku yang tak tertahan atau mungkin adanya kesempatan.
Namun, apa pun itu, kita perlu berhati-hati dalam memberikan komentar atau tanggapan terkait kasus kekerasan seksual yang dialami seseorang.
Sebab, kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dua pihak yang terlibat, sebelum, pada saat itu, dan setelah pemerkosaan terjadi.
Alih-alih berkomentar, Anda bisa terjerumus dalam rape culture atau victim blaming tanpa Anda sadari. Tapi, apa itu rape culture dan menyalahkan korban atau victim blaming?
Rape culture secara sederhana dapat diartikan sebagai pemakluman pemerkosaan yang terjadi di tengah masyarakat.
Dilansir dari situs Southern Connecticut State University, rape culture adalah suatu lingkungan yang menganggap kekerasan seksual yang terjadi di sekitarnya sebagai hal wajar dan mudah untuk dimaafkan.
Hal ini tercermin dari penggunaan bahasa yang menunjukkan diskriminasi seksual antara laki-laki dan perempuan, ketidakberpihakan kepada perempuan, atau menjadikan perempuan sebagai obyek seksual.
Ini berpotensi menciptakan masyarakat yang abai terhadap hak dan keamanan seorang perempuan.
Dalam hal ini perempuan selalu disalahkan atas terjadinya sebuah kasus pemerkosaan. Setidaknya, perempuan diposisikan sebagai obyek yang memang sepantasnya ada di posisi tersebut.
Tanpa disadari masyarakat atau mungkin kita sendiri kerap melakukan hal yang disebut sebagai rape culture tersebut.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.