Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Ketika Manual Hidup Sehat "Ketlingsut"

Kompas.com - 18/11/2018, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Rangkaian peringatan hari kesehatan nasional baru saja berlalu. Suatu momen yang tidak dirayakan besar-besaran, apalagi menarik perhatian banyak orang di tahun ini.

Bahkan, cenderung dilupakan di banyak tempat. Tentu saja, mengingat rapor merah yang menghantui salah satu hak dan harkat tertinggi manusia: untuk hidup sehat dan menikmati masa tua dengan bermartabat.

Adanya penurunan angka kematian bayi, tapi menyisakan angka stunting jauh di atas batas waspada yang ditentukan World Health Organisation menunjukkan kemampuan teknis seputar persalinan yang mulai lumayan, tapi makhluk hidup yang baru dilahirkan itu tidak mendapat asuhan mumpuni di 1000 hari pertama kehidupannya.

Seribu hari pertama bukan di luar tubuh ibu, tapi sepertiganya saat ia dibesarkan sebagai janin – ketika ibunya mengandung dan bergizi seadanya.

Baca juga: Hoax Kesehatan Itu Hasil Berbagi dari yang Tidak Sehat

Mendadak istilah stunting menjadi booming – dari meja konperensi tingkat tinggi hingga rapat kader posyandu.

Pimpinan daerah yang sempat kena sentil, karena angka stunting di wilayahnya melejit tak terkira ikutan panik bahkan menyangkal – karena ia tidak pernah melihat orang-orang kerdil bersliweran sebagaimana pemahamannya soal indikator stunting adalah postur tubuh kerdil.

Padahal, kerdil akibat stunting tidaklah sama dengan (maaf) ‘orang cebol’ yang kerap di-bully sebagai pelawak atau tontonan manusia aneh – yang penyebabnya akibat gangguan hormon, dan tentu saja beda dengan kasus stunting.

Di sisi lain, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang baru saja dirilis memaparkan angka-angka ngeri seputar penyakit akibat gaya hidup yang kian menanjak, bukannya menurun.

Dibandingkan 2013, stroke meningkat dari 7% menjadi 10.9%, diabetes dari 6.9% menjadi 8.5% dan hipertensi dari 25.8% menjadi 34.1%.

Sama sekali tidak ada perbaikan, perburukan malah semakin nyata.

Baca juga: Bermain Jadi Dokter Sendiri, Berujung Ngeri

 

Gerakan masyarakat hidup sehat (Germas) yang dicanangkan sejak awal 2017 dengan harapan pola makan mendapat perhatian dan rakyat beralih lebih banyak mengonsumsi sayur dan buah – justru hal sebaliknya yang terjadi : dibandingkan 2013, masyarakat yang tidak cukup mengasup sayur dan buah semakin banyak, dari 93.5% jadi 95.9%.

Ini amat keterlaluan sekaligus memalukan jika tidak mau dibilang ‘ngledek’. Ada apa?

Yang pasti bukan statistiknya yang salah. Promosi kesehatan masih sebatas kampanye, jargon, bagi-bagi kaos, goody bag, dan brosur serta keramaian panggung artis yang dibayar.

Gagapnya para pemangku tanggung jawab kesehatan yang bingung mau ‘membangunkan’ rakyatnya.

Meningkatkan kesadaran saja tidak menyelesaikan masalah. Proses yang terlalu lama menghabiskan uang dan waktu, sementara kematian dan bangkrutnya sistem layanan dan pembiayaan kesehatan semakin mengancam.

Baca juga: Niat Cepat Sehat: Kebiasaan Memberi Kail atau Ikan?

Stunting, stroke, diabetes, hipertensi hanyalah beberapa puncak gunung es yang hari ini terlihat. Keseluruhan gunung es utuhnya masih di bawah permukaan laut dan kapal mana pun yang lewat dijamin siap karam.

Saat tabrakan terjadi, sudah kelewat terlambat untuk mencari manual bagaimana dan kemana seharusnya kapal itu berlayar.

Mengharapkan air laut surut agar gunung es terlihat jelas tidak akan menyelesaikan masalah selama kapal masih berlayar ke arahnya dan setiap saat bisa terhempas menyisakan lobang besar mengaga di buritan.

Ibaratnya, menguak kesadaran publik akan bahaya stunting, stroke, diabetes, dan hipertensi saja. Tanpa ada kesadaran dari yang empunya kapal, untuk banting haluan sebelum hantaman penyakit katastropik dan gagal tumbuh generasi menyisakan kekosongan generasi produktif yang menyelamatkan kedaulatan bangsa ini.

Perubahan perilaku tidak akan bisa diharapkan dari siapa pun jika orang yang diharapkan berubah itu tidak memahami mengapa ia harus berubah. Untung ruginya dimana, manfaat dan mudharatnya apa, dan bagaimana caranya untuk berubah.

Baca juga: Mencari Solusi Akibat Adopsi Teknologi Tanpa Literasi

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com