JAKARTA, KOMPAS.com - Kata "peranakan" memiliki makna yang sama dengan "keturunan" yang berarti orang pendatang yang telah tinggal menetap selama beberapa generasi sehingga tidak hanya menghasilkan kawin silang saja tetapi juga alkulturasi seni dan budaya.
Salah satu budaya peranakan yang menonjol di Indonesia adalah budaya Peranakan Tionghoa.
Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali produk hasil asimilasi antara produk asli dari Tiongkok dengan budaya dan produk lokal seperti baju koko yang berasal baju Changshan, batik mega mendung, beduk, kecap manis, tahu gejrot, bakmi dan banyak lagi.
Budaya dan produk asimilasi ini memang kebanyakan terlihat dalam makanan atau busana. Namun banyak orang tidak menyadari bahwa desain-desain dan resep-resep itu memiliki akar nun jauh di sana, karena sudah sangat menyatu dengan masyarakat.
Sayangnya, belum semua budaya ini terpelihara dengan baik. Beberapa di antaranya tergerus jaman dan perlahan menghilang. Karenanya diperlukan usaha untuk memunculkannya kembali sebagai bagian dari budaya di Indonesia.
Salah satunya melalui acara "Kondangan Peranakan Tionghoa" yang digelar Kamis (22/11/2018) lalu di Shangri La, Jakarta.
"Acara ini digagas agar membuka kesempatan untuk mengembangkan dan mempopulerkan kembali budaya Peranakan Tionghoa di masyarakat," ujar Andrew Susanto, Ketua Umum Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (Aspertina).
Dan ternyata budaya peranakan menyebar di seluruh Nusantara. Banyak elemen budaya daerah yang terkait dengan budaya peranakan, melalui proses asimilasi yang terjadi secara alami.
Hidup berdampingan dengan penduduk asli rupanya membuat kaum pendatang ini menyesuaikan dengan kultur lokal. Begitu juga sebaliknya, budaya lokal ikut terpengaruh apa yang dibawa para pendatang.
Ini terlihat dari desain busana dari berbagai daerah yang ditampilkan dalam acara kondangan itu.
Ghea Panggabean misalnya, memadukan busana Batak dengan desain peranakan. Atau Boyonz Ilyas dengan paduan busana Palembang bercorak peranakan.
Sedangkan gaya peranakan yang berbaur di Jawa terlihat dalam rancangan kebaya dan batik karya Jeanny Ang, Widhi Budi Mulia & Batik Sidamukti, serta Poppy Dharsono.
Di Kalimantan, perpaduan budaya itu tampak dalam busana rancangan Afif Syakur dan Vielga Wennida, sedangkan dari Sulawesi, tampil rancangan Itang Yunasz dan Siki Purnomo.
Sementara dari Indonesia Timur, asimilasi budaya peranakan juga ditunjukkan dalam karya Samuel Wattimena dan Eko Chandra, serta karya Hengky Kawilarang dengan pengantin Bali-nya.
"Jadi ini bukan sekedar merancang atau melenggak-lengok, namun menjadi inspirasi untuk melestarikan budaya Peranakan Tionghoa sebagai bagian dari kekayaan budaya di Indonesia," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.