Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/12/2018, 11:26 WIB
Nabilla Tashandra,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kaitan antara berat badan berlebih alias obesitas dan depresi sebetulnya bukan hal baru dan sudah diketahui para ilmuwan selama bertahun-tahun.

Namun, perdebatan yang masih berlangsung kurang lebih sama seperti perdebatan ayam dan telur: mana yang terjadi lebih dulu?

Jawabannya mungkin lebih bersifat personal. Namun, sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa kelebihan berat badan memang bisa memicu terjadinya depresi.

Hal ini dikarenakan varian gen secara spesifik yang dikaitkan dengan indeks massa tubuh (BMI) yang tinggi.

Pada studi yang dipublikasikan di International Journal of Epidemology tersebut, para peneliti dari Inggris dan Australia mempelajari data dari Biobank, sebuah penelitian inisiatif yang melibatkan jutaan partisipan.

Ada pun partisipan yang terlibat berusia 37 hingga 73 tahun.

Penelitian tersebut menganalisis tanda-tanda genetik pada orang-orang dengan BMI tinggi dan menemukan bahwa orang pada kategori tersebut lebih rentan mengalami depresi.

Mereka juga menemukan bahwa BMI tinggi karena pengaruh genetik menjadi indikasi kuat terjadinya depresi.

Dalam hal ini, perempuan cenderung lebih mudah terpapar ketimbang laki-laki.

Setiap kenaikan BMI 4,7 di atas angka normal, risiko depresi meningkat 18 persen secara keseluruhan dan 23 persen untuk perempuan.

Baca juga: Obesitas Bisa Menyebabkan Kanker, Ini Alasannya

Penulis studi, Elina Hypponen, Ph.D., yang juga merupakan profesor di bidang Nutrisi dan Epidemologi Genetik mengatakan, tekanan sosial bisa jadi mengambil peran terhadap peningkatan risiko depresi tersebut.

"Perempuan seringkali lebih sensitif terhadap stigma obesitas ketimbang laki-laki," ujarnya.

Menurutnya, laki-laki cenderung tak masalah memiliki berat badan berlebih. Sementara perempuan seringkali merasa kurang ketika bentuk tubuh mereka tidak ideal.

Berbeda dengan studi-studi lainnya yang mencari hubungan antara obesitas dan depresi, pendekatan genom seperti saat ini bisa menghindari masalah metodologi yang sebelumnya terjadi, terutama yang terkait dengan observasi seperti gaya hidup dan tingkah laku.

Kondisi ini membuat para peneliti semakin yakin bahwa faktor genetik obesitas punya pengaruh besar.

Menurut Hypponen, faktor gen tersebut memengaruhi hasil meskipun yang bersangkutan dalam kondisi sehat tanpa penyakit kronis, seperti diabetes tipe 2 atau penyakit jantung.

Hasil ini menunjukkan bahwa depresi cenderung menjadi konsekuensi psikologis dari obesitas alih-alih dipicu oleh mekanisme metabolik.

Namun, jika kamu tidak memiliki faktor genetik BMI tinggi, bukan berarti risiko gejala depresi berkurang. Pola makan berlebih dan kurang olahraga bisa membuat berat badan melonjak.

"Olahraga baik untuk kesehatan mental dan untuk tubuh kita. Seringkali menurunkan berat badan juga bisa membantu kita meraih kesehatan mental tersebut," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com