Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Keamanan Pangan dan Ketahanan Pangan: Di Dunia Manakah Kita?

Kompas.com - 23/12/2018, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Tidak banyak awam yang paham memang, bedanya ‘keamanan’ dan ‘ketahanan’ pangan.

Dalam terminologi internasional, keamanan pangan disebut food safety – yang meliputi jaminan bebas kontaminasi maupun polutan dalam pangan yang merugikan manusia.

Hal itu termasuk cara penanganan sumber pangan, transportasinya, kelangsungan rantai pendingin bagi sumber pangan yang mudah busuk atau rusak, hingga teknik pengolahan, pemberian label, dan penyimpanan hingga ke tangan konsumen yang siap mengonsumsinya.

Sedangkan ketahanan pangan alias food security mengandaikan kecukupan pangan bagi masyarakat, dengan distribusi yang adil, ketersediaan yang mumpuni dan keberlangsungannya terjamin.

Baca juga: Ketika Manual Hidup Sehat Ketlingsut

Keamanan dan ketahanan pangan kerap memberi gambaran suatu bangsa berada di dunia ketiga – yang sejak runtuhnya Uni Sovyet disebut sebagai ‘negara berkembang’ atau suatu bangsa berada di dunia pertama – yang konotasinya kini adalah sekelompok negara maju, bukan lagi hanya meliputi negri kapitalis Amerika beserta sekutunya.

Yang menjadi repot, jika keamanan dan ketahanan pangan ditafsirkan oleh para ‘ahli’ atau akademisi dari sudut pandang yang berbeda-beda tanpa landasan yang sama.

Contoh yang paling mudah ditemui, adalah ketika ada ahli yang menilai pangan buatan pabrik lebih terjamin secara kebersihan dan keabsahan komposisinya untuk kebutuhan tubuh manusia, ketimbang makanan dari bahan pasar yang diolah sendiri.

Dari cara pikir ini, akhirnya berkembang suatu paradigma baru tentang ketahanan pangan suatu negara: yang apabila dari hasil bercocok tanam saja tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya, maka mari kita ciptakan saja produk massal pangan jadi yang bisa ditentukan kapasitas produksinya, tanpa harus bergantung kemurahan bumi dan keramahan cuaca.

Baca juga: Hoax Kesehatan Itu Hasil Berbagi dari yang Tidak Sehat

Cara pandang seperti di atas, mengandaikan masyarakat hanyalah sejumlah mulut yang harus dijejali makanan biar kenyang dan puas – minimal mereka tidak nampak sakit hari ini.

Euforia teknologi dan desakan keinginan suatu bangsa dari tahap berkembang untuk bisa dikategorikan negara maju semakin menyesatkan makna keterbutuhan dan keutamaan hidup secara keseluruhan.

Pendekatan mekanistik membuat banyak ilmuwan dan ahli kesehatan membaca tubuh manusia ibaratnya seperti “teks” – yang hasil asesmennya bisa dianalisa dan ‘dibetulkan’ layaknya mesin masuk bengkel.

Kecukupan gizi hanya dihitung secara matematis, bahkan ibu si anak dianggap terlalu bodoh untuk bisa memahami proporsi gizi seimbang yang bisa diraciknya sendiri di rumah. Dapurnya pun dinilai terlalu jorok untuk bisa memenuhi standar keamanan pangan bayi dan anak.

Baca juga: Bermain Jadi Dokter Sendiri, Berujung Ngeri


Anehnya, jika produk pabrik suatu hari kedapatan bermasalah, sebut saja “tidak disengaja” mengandung kontaminasi logam berat seperti yang terjadi di negara maju belum lama ini, maka aksi bela diri industri segera dilakukan.

Mulai dari menarik semua produknya hingga berbagai pernyataan pembenaran yang didukung ‘para ahli', membuat pemerintah serta badan pengawas obat dan makanan salah tingkah.

Kontaminasi melamin dalam susu formula atau logam berat di sereal memang tidak membuat bayi keram perut langsung, tidak seperti ibu jorok memasak bubur yang bikin bayi mencret seketika.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com