Keracunan bertahap dalam jangka panjang yang terakumulasi, apabila suatu hari menyebabkan kelainan tumbuh kembang akibat produk industri, biasanya dengan mudah akan dibelokkan dengan pelbagai kontributor lain alias perancu - yang ujung-ujungnya industri masih menang.
Di titik krusial ini, orangtua-lah yang dianggap paling bersalah: karena ayahnya merokok (dan pabrik rokok pun tidak bisa ditilang), polusi udara di tempat tinggal yang berhimpitan, dan rutinitas bakar sampah untuk mengurangi sampah plastik katanya, diperberat infeksi berulang akibat tidak punya jamban yang memadai setiap kali buang hajat.
Baca juga: Mencari Solusi Akibat Adopsi Teknologi Tanpa Literasi
Jaminan keamanan dan ketahanan pangan yang masih dipahami secara sempit, membuat suatu bangsa mau-tak-mau terjebak dengan fenomena di atas.
Alhasil keamanan pangan tidak lagi dilihat secara jangka panjang, begitu pula kecukupan pangan menjadi lahan investasi besar-besaran bagi pemilik modal, bukan lagi pemberdayaan petani yang ilmunya tidak pernah terbarukan, apalagi diperkenalkan dengan pendidikan pertanian untuk peningkatan mutu.
Saat ini Indonesia sedang berjuang untuk bergeser dari istilah negara berkembang menuju predikat negara maju.
Untuk menuju ke sana, Indonesia harus melakoni 8 upaya besar: peningkatan pendapatan per kapita, peningkatan kualitas pendidikan bermutu, penguasaan IPTEK, peningkatan kualitas ekonomi, pemberantasan korupsi, peningkatan pembangunan transportasi dan infrastruktur, peningkatan stabilitas politik, dan jaminan pelayanan kesehatan.
Baca juga: Gempa Lombok: Bukan Sekadar Retaknya Jalanan dan Runtuhnya Rumah
Delapan upaya itu tidak bisa diciptakan seperti legenda Sangkuriang, dalam semalam perahu beserta telaga bisa langsung jadi. Delapan upaya tersebut pun bukan target tanpa gegar budaya.
Penguasaan IPTEK yang akhirnya hanya membuat rakyat mampu mengakses dunia maya, tapi akhirnya hanya jadi sarana sebar menyebar berita bohong, justru menjadi sabotase besar.
Pendapatan per kapita yang menanjak akibat transaksi konsumtif tentu bernilai beda dibandingkan dengan peningkatan pendapatan karena produk inovatif.
Jaminan pelayanan kesehatan yang hanya menampung korban penyakit, akhirnya jatuh bangkrut karena upaya pencegahan penyakit selalu gagal.
World Bank menilai Malaysia akan mampu beranjak menjadi negara maju di tahun 2020. Sementara Indonesia diandaikan baru bisa menyamai di tahun 2042, itu pun dengan catatan: apabila rapor merah di sana-sini berhasil diperbaiki bukan dengan sulapan, namun dibutuhkan kerja keras dan niat baik semua pihak untuk membangun dengan visi yang sama.
Baca juga: Kurus, Gizi Buruk, Stunting: Wajah Ngeri Anak Indonesia
Seperti anak yang sedang dilatih membuat pekerjaan rumah dan menyelesaikan tugas sekolah, maka orangtua perlu mengambil kebijakan yang suportif: dengan mengendalikan jam menonton TV, mengatur waktu bermain, dan sementara mengunci penggunaan berbagai macam gawai permainan.
Analogi yang sama, bila kita sungguh-sungguh ingin menjadi negara maju, yang inovatif bukan konsumtif, yang menggunakan IPTEK untuk karya bukan sekadar menembus medsos menebar riya.
Yang memberdayakan kesehatan publik bukan sekadar bagi-bagi sarana berobat gratis, maka kita bersama perlu mengambil kebijakan yang suportif: mengendalikan promosi berlebihan produk industri yang hanya menyasar pada peningkatan pendapatan pribadi, mengatur label dan iklan pangan, dan mengunci berbagai macam sumber informasi yang menyesatkan publik.
Baca juga: Pangan ?Ultra-Proses?: Sukses Ekonomi Berbuah Kematian Dini
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.