Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pascatsunami, Mari Evaluasi Gizi dan Edukasi

Kompas.com - 07/01/2019, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bahwa kebutuhan lemak bagi bayi dan balita tidak selalu harus diberi minyak goreng, margarin, apalagi keju.

Dengan memilih bahan makanan yang dari alamnya sudah kaya lemak dan diolah dengan baik – maka kebutuhan 50% lemak dari total asupan energi pasti akan tercukupi.

Amat disayangkan dan perlu diratapi, apabila memberi makan manusia hanya sebatas pemenuhan rasa kenyang.

Tidak banyak yang paham, bahwa dapur adalah wilayah terwujudnya kasih sayang dan cinta.

Baca juga: Gempa Lombok: Bukan Sekadar Retaknya Jalanan dan Runtuhnya Rumah

Di saat tanggap bencana, dengan duduk bersama mengolah makanan maka manusia akan menjalin komunikasi, bonding, merasa dibutuhkan, dan tentunya melewatkan waktu dengan lebih gembira ketimbang merenung kapan air susut atau gempa berhenti.

Di sisi lain, saat dukungan psikososial diberikan dalam rupa ruang bermain dan bercerita bersama anak, banyak temuan-temuan yang amat mematahkan hati.

Sejumlah anak SD masih menemui kesulitan membaca. Hampir semua menyatakan matematika itu sulit. Dan tidak satu pun yang bisa menulis huruf tegak bersambung.

Sekali lagi, reduksi terjadi dimana-mana. Kali ini, menulis hanya dianggap cara membuat prosa atau nantinya menyusun skripsi. Bukan keterampilan hasil integrasi ketangkasan manual (dexterity) yang melibatkan kerja otak kiri dan kanan sekaligus menampilkan ekspresi.

Mengikat tali sepatu pun dianggap menyulitkan, untuk apa susah-susah jika sudah ada velcro, keajaiban pita rekat yang membuat balita pun bisa pakai sepatu sendiri?

Matematika hanya aljabar agar pintar menghitung duit. Bukan logika apalagi abstraksi. Dengan logika dan daya abstraksi yang rendah, jelas matematika menjadi sulit.

Padahal, logika dibutuhkan untuk memilah perbedaan fakta, ilusi atau hoax. Abstraksi dibutuhkan untuk menata masa depan.

Tidak banyak guru yang bisa sambil bercerita lalu melakukan stimulasi menyenangkan dengan menyisipkan matematika dan logika.

Tak heran ilmu eksakta menjadi begitu menyeramkan – atau dianggap milik ‘anak jenius’ – padahal fakta sesungguhnya bukanlah begitu.

Baca juga: Ketika Manual Hidup Sehat Ketlingsut

Sambil tercenung saya bisa memahami, mengapa betapa sulitnya membuat para ibu dan kader mau membaca – karena mereka memang tidak terbiasa dengan keterampilan itu yang melibatkan banyak fungsi otak.

Pada situasi seperti itu, mengajar mereka berarti ‘menunjukkan caranya’. Tepat di depan mata. Membuat mereka mampu mengalami segala sesuatunya, merasakan dan mencoba.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com