Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Resep Kebahagiaan: Jiwa dan Raga di Usia yang Sama

Kompas.com - 27/01/2019, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tapi apakah bijak dan arif, jika saat ini ketika rezeki berpihak pada kita dan karenanya bokong lebih banyak duduk di kursi empuk – tapi saya masih makan sekuat kuli?

Baca juga: Hoax Kesehatan Itu Hasil Berbagi dari yang Tidak Sehat

Padahal, kursi empuk berjodoh dengan komputer – yang artinya kerja otot beralih menjadi aktivitas otak. Dan nutrisi bagi otak tentunya tidak sama dengan kebutuhan otot.

Sayangnya, masalah kebutuhan nutrisi kita masih berkutat seputar hitungan kuantitas. Bukan kualitas.

Padahal kalori tidak bicara soal kebaikan nutrisi. Hanya informasi seputar jumlah hitungan kuantifikasi satuan energi.

Sama-sama mengandung 400 kilokalori, seorang penderita diabetes bisa masuk rumah sakit jika mengonsumsi roti putih berselai gula, ketimbang makan 1 ons daging ayam panggang.

Baca juga: Ketika Manual Hidup Sehat Ketlingsut

Pada dasarnya, yang ‘memanggil ‘ manusia untuk memilih makanannya bukanlah raga dalam artian fisik semata, melainkan jiwa yang tak kunjung tenang dan menolak jadi dewasa sesuai perjalanan waktu.

Jadi tak heran jika kita masih melihat orang bertubuh dewasa, berpakaian layaknya orang dewasa, tapi pilihan makanannya seperti anak yang masih butuh energi untuk tumbuh kembang.

Saya mengandaikan energi tumbuh kembang itu seperti tenaga dorong pesawat yang sedang lepas landas.

Logikanya, begitu mencapai ketinggian 33.000 kaki, maka tenaga dorong itu harusnya disesuaikan menjadi tenaga terbang menjelajah hingga mendekati tujuan.

Bicara soal ketidaksesuaian usia raga dan panggilan jiwa, ternyata urusannya bukan hanya soal makanan.

Banyak orang yang menderita secara emosional karena tahun di mana jiwanya berada tidak pas dengan tahun raganya hidup. Ini bukan pembicaraan ranah klenik.

Maksudnya, mereka yang begitu terbelenggu dengan kejadian-kejadian masa lampau, secara emosional belum mampu melihat kenyataan yang ada di masa sekarang. Generasi milenial menamakan hal ini dengan istilah ‘belum bisa move on’.

Menjadi lebih parah lagi, apa yang dirasakannya saat ini dan orang-orang yang ditemuinya di hari ini semua dibandingkan, dicocok-cocokkan dengan peristiwa di masa lalu.

Itu salah satu kontributor mengapa kita ‘bermasalah’ dengan orang lain. Bukan salah orang itu sebenarnya. Tapi kita menyimpan kesan dan ‘pesan masa lalu’ – sehingga mau seperti apa pun orang itu berubah, sama sekali tak nampak di mata kita.

Baca juga: Gempa Lombok: Bukan Sekadar Retaknya Jalanan dan Runtuhnya Rumah

Mengingat perilaku erat hubungannya dengan emosi, maka tak heran juga orang-orang yang mempunyai kesulitan menyalurkan rasa bahagia, sedih, cemas atau frustrasi akan memproyeksikannya pada makanan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com