Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Resep Kebahagiaan: Jiwa dan Raga di Usia yang Sama

Kompas.com - 27/01/2019, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Belakangan ini saya menemukan jurus jitu untuk mengajarkan perihal ‘makan bener’ – yang sebetulnya cukup ruwet dan njlimet jika mau diurai secara ilmiah.

Jurus yang akan saya tulis ini lebih ampuh ketimbang menjawab berderet-deret pertanyaan, ”Dok, makan ini boleh? Bagaimana makan yang itu?” yang akhirnya bukan memberdayakan orang, tapi malah menjerat orang dewasa menjadi kerdil: sebatas patuh.

Jurus logika yang saya maksud di atas sebenarnya adalah soal perjalanan waktu dan perubahan hidup. Kebanyakan orang hanya fokus pada apa yang nampak jelas di luar. Tepatnya dandanan.

Bahkan, begitu banyak kanak-kanak terburu-buru ingin jadi dewasa. Wajah polos diacak make up. Model baju apalagi.

Nah, yang pasti, tidak ada orang dewasa yang sudi mengenakan model pakaian zaman ia masih balita. Begitu pula mereka yang sudah beruban, pastinya punya selera berpakaian yang ‘lebih senior’.

Baca juga: Keamanan Pangan dan Ketahanan Pangan: Di Dunia Manakah Kita?

Sekali lagi, yang nampak kasat mata jelas dipandang tentu lebih mudah dianalisa. Lalu bagaimana dengan kebutuhan yang lain, sebut saja: pangan?

Jarang ada orang yang memikirkan bahwa dengan perubahan usia, maka perlu juga ada pergeseran apa yang dimakan.

Justru yang lebih sering ditemui, nenek tergoda mencomot kentang goreng cucunya. Atau seorang kakek berbagi sekaleng permen coklat dengan bocah yang terpaut lebih dari satu setengah abad usianya.

Banyak dokter atau ahli gizi yang merasa ‘tidak tega’ dengan tatapan memelas klien-kliennya yang terbelenggu makanan kecanduan – walaupun jelas-jelas para profesional ini paham betul risikonya.

Dengan alasan ‘sesekali’, akhirnya berbagai sajian menyesatkan itu masih terhidang merangsang selera.

Lebih mengenaskan lagi jika sang klien awalnya hanya diabetes lalu sudah berkembang menjadi gagal ginjal. Tatapan memelas itu yang tadinya memohon untuk menikmati sesekali, sekarang bermakna beda: permintaan sebelum kondisi fatal terjadi.

Baca juga: “Germas” Masih Tahap Marketing: Menanti Disrupsi Terjadi

Pergeseran pola konsumsi pangan selayaknya juga dijalankan, jika selera berpakaian kita berubah.

Maksudnya, jika saat ini kita sudah memasuki usia tertentu, maka ada baiknya dipikirkan apakah kita masih layak makan seperti layaknya anak kecil atau anak remaja – yang masih dalam tahap tumbuh kembang.

Kita sudah tidak kembang kemana-mana lagi. Paling-paling lingkar perut yang akan mengembang tanpa batas.

Begitu pula jika dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu (sebutlah ‘zaman susah’) kita bekerja masih pontang panting menggunakan tenaga fisik, maka kita memang makan sesuai aktivitas tinggi yang membutuhkan banyak kalori itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com