Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/01/2019, 11:02 WIB
Nabilla Tashandra,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

“Jadi kalau mau membela LGBT malah kalah. Akhirnya mereka mengeluarkan jurus-jurus populis saja yang digemari masyarakat secara umum diskriminatif atau intoleran,” kata Daniel.

Baca juga: Pemerintah Hapus Frasa yang Mendiskriminasi LGBT dalam RKUHP

Paling dibenci

Adapun Pengamat SMRC Saidiman Ahmad menyebut adanya hubungan kuat antara pemberitaan dan kebencian yang dimiliki masyarakat atas kelompok tertentu.

SMRC sendiri sudah sejak 1999 mengadakan survei intoleransi. Salah satu pertanyaan dalam survei menanyakan adakah kelompok yang paling dibenci oleh masyarakat.

Pertanyaan itu, kata Saidiman, muncul dari teori yang menyatakan bahwa pada dasarnya semua orang punya pandangan negatif terhadap suatu kelompok.

Di atas 80 persen orang Indonesia memiliki kelompok yang dibenci tersebut. Konsekuensi dari membenci itulah yang menjadi persoalan.

Pada awal era reformasi Kelompok LGBT tidak ada di dalam daftar kelompok yang paling dibenci masyarakat. Salah satu kelompok yang saat itu paling dibenci adalah komunis.

Namun, kelompok LGBT mulai masuk ke dalam daftar setelah ramainya berita pembunuhan mutilasi yang dilakukan oleh Very Idham Henyansyah atau lebih dikenal dengan nama Ryan Jombang beberapa tahun lalu. Kisah Ryan mendapat sorotan yang semakin besar karena dirinya merupakan pecinta sesama jenis.

“Jadi betul sekali media punya peran di sana. Tapi kalau media bisa punya peran membuat satu kelompok dibenci, media harusnya juga punya potensi untuk membuat satu kelompok itu disukai atau tidak,” tuturnya.

Baca juga: Hindari Politisasi Kelompok Minoritas, RKUHP Diminta Dibahas Setelah Pemilu 2019

Memahami istilah

Penggunaan istilah yang dianggap tidak tepat dan mengundang clickbait dalam pemberitaan seringkali membuat kelompok LGBT prihatin.

Riska Carolina mencontohkan, salah satunya adalah istilah “fenomena LGBT”.

“Itu bukan fenomena. Dari zaman kapan sudah ada. Namanya saja yang berubah-ubah,” kata Riska.

Istilah lain lagi, misalnya “kaum LGBT” yang menurutnya lebih nyaman jika diganti menjadi “kelompok LGBT”.

Sejumlah pemberitaan juga kerap membahas tentang bahaya LGBT. Riska pun mempertanyakan bahaya yang dimaksud dan menilai pemberitaan-pemberitaan seperti itu sangat tidak berimbang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com